Apakah salah kalau kita mengejar dunia seiring dengan menjalankan kewajiban agama karena realistis?

Yuk, kita diskusikan kebenarannya lewat artikel Finansialku di bawah ini!

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

Magdalene.co

 

Apakah Salah Mengejar Dunia Karena Realistis?

“Sudahlah, jangan terlalu mengejar dunia. Dunia, ‘kan, hanya sementara!”

 

Pernah mendengar kalimat seperti itu saat hendak mengejar mimpi? Saya sering. Meski demikian, saya masih suka bingung setiap kali mendengar kalimat itu.

Sebagai Warga Negara Indonesia yang berideologi Pancasila, sepertinya kita semua sudah paham dengan konsep ketuhanan dalam agama yang mengajarkan ada kehidupan lain setelah kematian.

Ada surga dan neraka yang merupakan tempat pembalasan atas apa saja yang telah kita kerjakan di dunia, tergantung beban dosa atau pahala yang lebih berat timbangannya.

Memang betul, dunia cuma sementara, tapi apakah bisa dikesampingkan begitu saja?

Karena yang saya pahami, agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi berkah bagi sekitar.

Mengejar Dunia Karena Kita Punya Sisi Realistis. Memang Salah_ 02

[Baca Juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas]

 

Hal itu bisa direalisasikan dengan cara seperti membangun relasi yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Bukankah hal-hal tersebut seharusnya kita lakukan saat masih hidup di dunia?

Relasi yang baik antara manusia dengan Tuhan bisa dilakukan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Perintah Tuhan adalah hal-hal yang selama ini kita yakini sebagai sesuatu yang ideal seperti sikap bertanggung jawab, menjaga kerukunan, tolong menolong, mengasihani, dan nilai-nilai ideal lainnya.

Lalu, apakah salah jika kita mengejar mimpi? Saat seseorang bekerja keras agar menjadi orang kaya, muncul stigma bahwa ia hanya mengejar dunia.

Padahal, siapa yang tahu kalau dia memiliki misi mulia, yaitu membangun yayasan untuk anak-anak korban kekerasan?

Stigma memang tidak bisa muncul pada siapa saja, tapi siapa saja bisa memunculkan stigma.

Halnya karena bekerja lebih keras, jarang datang ke perkumpulan ibadah, bukan berarti seseorang melupakan kewajibannya kepada Tuhan.

Bisa jadi, seseorang tidak bisa ikut pergi rombongan ziarah ke makam wali karena uangnya sudah dia gunakan lebih dulu untuk memberi makan kucing-kucing yang terlantar.

Atau, bisa jadi dia tidak merayakan natal di gereja karena ia berkumpul di rumah dengan orang tua yang hanya ditemuinya saat liburan tahunan.

Yang jelas, apa pun alasannya, stigma itu seharusnya tidak perlu ada.

 

Download Sekarang! Ebook PERENCANAAN KEUANGAN Untuk USIA 20-an, GRATIS!

15 Ebook Perencanaan Keuangan 20an

 

Mengejar Dunia dan Menjadi Realistis Bukan Berarti Lupa Akhirat

Semakin lama, seolah kita semakin dituntut untuk bisa selesai antara agama dan karier.

Sebenarnya, keduanya bisa berjalan bersamaan. Hanya saja standar mengenai menjalani kewajiban agama dengan baik dan karir yang patut diapresiasi membuatnya menjadi rumit.

Masih banyak orang yang menilai ketakwaan seseorang dari atribut yang dikenakan.

Misalnya, ada anggapan bawah perempuan yang berjilbab sudah tentu lebih baik dari perempuan yang tidak berjilbab.

Padahal, tidak ada yang benar-benar mengetahui ketakwaan seseorang selain Tuhan.

Atribut-atribut moral seperti celana dan jilbab adalah hal yang mudah dipolitisasi.

Rasanya tidak adil menganggap perempuan yang mengenakan seragam kerja sebagai orang yang hanya mengejar dunia karena pakaiannya dianggap tidak sesuai perintah agama.

Tidak adil menstigma seseorang hanya mengejar dunia padahal kita tidak tahu alasan seseorang memilih pakaian, pekerjaan, bahkan agama yang dipeluk.

Menjadi realistis bukan berarti melupakan akhirat. Menjadi realistis justru bisa menjadi cara untuk berbakti kepada agama.

Banyak orang butuh kerja untuk memenuhi kehidupannya. Jika tidak bekerja, ia akan bergantung kepada siapa? Bukankah justru hanya menjadi beban masyarakat?

Banyak perempuan yang ingin sekolah setinggi-tingginya dan masih saja dibicarakan negatif oleh orang sekitarnya.

Bukankah selalu dikatakan kalau perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anak?

Banyak orang ingin mengejar mimpi untuk mengisi hidupnya menjadi lebih berarti, berguna bagi masyarakat, mampu secara ekonomi untuk membantu sesama.

Jadi, tolong berhenti mengatakan orang lain “hanya mengejar dunia”.

Mengejar Dunia Karena Kita Punya Sisi Realistis. Memang Salah_ 03

[ Baca Juga: Cita-Cita: Jadi Orang Kaya, Fakta: Nggak Tahu Cara Mengelola Keuangan]

 

Karena sekali lagi, orang yang berusaha mengejar kehidupan yang lebih baik bukan berarti melupakan akhiratnya.

Mengingat akhirat bisa dilakukan kapan pun tanpa harus meninggalkan pekerjaan, tanpa harus menyudahi belajar, tanpa harus berhenti mengejar mimpi.

Setiap orang ingin kehidupan yang lebih baik.

Sah-sah saja untuk fokus pada akhirat dan menepi dari kehidupan dunia seperti halnya sufi.

Tapi, bahkan jika saya tidak keliru, Khalil Gibran yang seorang sufi pun bekerja dengan menjadi pelukis.

Disadari atau tidak, memiliki posisi strategis dalam lingkungan sosial akan memudahkan seseorang yang menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan.

Untuk memiliki posisi strategi ini, seseorang harus berusaha, bekerja keras, termasuk kerja keras untuk memiliki hal-hal yang bersifat material.

 

Acara Keagamaan Butuh Biaya

Bahkan menggelar acara-acara keagamaan yang melibatkan banyak orang juga membutuhkan biaya.

Katakanlah, perayaan-perayaan hari besar agama atau mengundang orang ke rumahnya untuk mendoakan pasangannya yang sudah meninggal. Semua itu membutuhkan materi.

Pemilik rumah akan sibuk menyiapkan suguhan apa yang pantas untuk orang-orang yang diundang dalam acara keagamaan di rumahnya.

Kalau memberikan seadanya, ada kekhawatiran dari sang pemilik rumah akan menjadi perbincangan di lingkungan tetangga.

Sehingga, karena ini, seseorang perlu bekerja terlebih dahulu, yang tujuannya akhirnya adalah demi bisa mengadakan acara keagamaan, mengikuti kegiatan kelompok, dan memberikan suguhan yang baik.

Iya, memang rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Meski demikian, apakah kita hanya terus berdiam diri dan tidak berusaha?

Mengejar dunia tidak salah selama dilakukan dengan cara yang benar dan untuk tujuan yang baik.

Gemerlap dunia memang bisa memabukkan. Jangan sampai kita sengaja menyakiti orang lain demi kehidupan yang lebih baik atau demi ajaran yang diyakini.

Semoga kita bisa menghormati pilihan masing-masing pribadi dan tetap menjaga kerukunan.

Begitu pun dengan menepi dari kehidupan dunia, tidak masalah selama kita sudah cukup memiliki cukup bekal untuk tidak merepotkan orang lain.

Jika kita fokus pada kehidupan akhirat, beribadah terus, namun untuk urusan makan dan kebutuhan lain masih menuntut pada orang lain, bukankah itu merugikan?

Jangan sampai kalimat “dunia hanya sementara” dimaknai dangkal dan membuat kita enggan berusaha menjadi manusia yang produktif, malas mengejar mimpi, dan menggantungkan kehidupan dunia pada orang lain.

 

Bagaimana pendapat Sobat Finansialku mengenai hal ini? Mari kita diskusikan di kolom komentar!

Sobat Finansialku juga bisa mendiskusikan hal ini bersama teman atau keluarga dengan membagikan artikel dari Finansialku lewat pilihan platform yang tersedia di bawah ini. Terima kasih.

 

 

Artikel ini merupakan hasil kerja sama Finansialku dengan Magdalene.co. Isi dan data yang tertera dalam artikel merupakan tanggung jawab Magdalene.co

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • Pic 01 – https://bit.ly/3pWHoRP
  • Pic 02 – https://bit.ly/3ni2sQZ
  • Pic 03 – https://bit.ly/3onR1sx