Memiliki kontribusi besar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, kelas menengah ternyata memiliki beban hidup yang berat. Belum lagi, ekonomi yang semakin menurun.
Mari simak penyebab dan beban kelas menengah dalam artikel berikut ini.
Summary:
- Kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan ekonomi yang signifikan, mempengaruhi stabilitas sosial-ekonomi.
- Faktor-faktor seperti pelemahan nilai tukar Rupiah, lonjakan harga bahan pangan, dan pemutusan hubungan kerja berkontribusi pada penurunan ini.
- Perencanaan keuangan yang matang harus Anda miliki untuk mengelola pendapatan, pengeluaran, tabungan, investasi, dan perlindungan asuransi.
Ekonomi Kelas Menengah Menurun, Beban Hidup Meningkat
Kelas menengah sering kali memiliki anggapan sebagai tulang punggung perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia. Mereka merupakan kelompok yang memiliki daya beli cukup kuat, berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik, dan menjadi penyangga utama stabilitas sosial-ekonomi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin besar, yang menyebabkan penurunan kondisi ekonomi mereka.
Penurunan ini tidak hanya berdampak pada kehidupan individu dan keluarga, tetapi juga berpotensi mengguncang perekonomian secara keseluruhan.
[Baca Juga: 5 Masalah Keuangan Kelas Menengah Indonesia]
Siapa Saja yang Termasuk Kelas Menengah?
Menurut definisi Asian Development Bank pada 2010, kelas menengah di Indonesia adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran sebesar US$ 2 – 20 per hari. Dengan besaran tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia mencapai 46,58% atau sebanyak 102,7 juta jiwa.
Bank Dunia, di sisi lain membagi kelas konsumsi di Indonesia menjadi lima kelompok: kelompok miskin, kelompok rentan, kelompok menuju kelas menengah, kelompok kelas menengah, dan kelompok kelas atas sebagai berikut:
Kelompok Masyarakat Indonesia Berdasarkan Pengeluaran. Sumber: World Bank
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengelompokkan klasifikasi kelas ekonomi sebagai berikut:
- Kelas menengah ke bawah (emerging middle)
Pengeluaran keluarga per bulan sebesar Rp1,5 juta – Rp2 juta.
- Untuk kelas menengah (middle)
Pengeluaran keluarga per bulan Rp2 juta – Rp3 juta per bulan.
- Kelas menengah atas (upper middle)
Pengeluaran keluarga per bulan berkisar Rp3 juta – Rp5 juta.
[Baca Juga: Amerika Batuk, Dunia Pilek: Dampak Resesi Amerika Terhadap Ekonomi Global]
Penyebab Ekonomi Kelas Menengah Menurun
Ekonomi kelas menengah yang menurun memiliki beberapa penyebab seperti hal-hal berikut ini.
#1 Nilai Tukar Rupiah
Ekonomi kelas menengah menurun salah satunya dapat disebabkan oleh pelemahan nilai tukar Rupiah.
Kondisi ini berpotensi menekan daya beli masyarakat karena pelemahan rupiah membuat harga barang impor menjadi semakin mahal, misalnya bahan bakar minyak atau BBM, bahan baku sejumlah industri, dan lain-lain.
Pelemahan Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terlihat pada grafik di bawah ini, di mana bila dibandingkan mata uang Paman Sam tersebut relatif lebih mahal di 2024 dibandingkan di 2023.
Grafik Nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Sumber: tradingeconomics.com
Ketika impor bahan baku semakin mahal akibat pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dampaknya adalah biaya produksi menjadi lebih tinggi terutama untuk industri yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor.
Saat biaya produksi industri menjadi lebih mahal tentu efeknya akan langsung berpengaruh terhadap harga jual maka barang-barang yang terdampak pelemahan nilai tukar akan mendorong inflasi yang membuat daya beli masyarakat tertekan.
[Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 5,11%, Jadi Kabar Baik?]
#2 Lonjakan Bahan Pangan
Kenaikan harga bahan pangan dapat menekan ekonomi kelas menengah.
Data Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan porsi pengeluaran untuk groceries atau bahan makanan meningkat dari 13,9% pada Januari 2023 menjadi 27,4% dari total pengeluaran pada Juli 2024 seperti yang terlihat dalam grafik berikut ini.
Grafik Pengeluaran Bahan Makanan. Sumber: Mandiri Spending Index
Dari grafik di atas secara sederhana dapat kita artikan ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan.
Jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat.
Salah satu penyebab tingginya pengeluaran adalah lonjakan harga pangan, terutama beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 dan terus mencetak rekor tertingginya.
Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melesat 20% dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 memiliki harga sekitar Rp12.650/kg sementara pada Juni 2024 sudah mencapai Rp15.350/kg.
Sementara itu, rata-rata harga beras bulanan tertinggi tercatat pada Maret 2024 di harga Rp15.900/kg seperti yang terlihat di tabel di bawah ini. Kenaikan harga beras tentu saja membebani rumah tangga Indonesia karena beras menjadi bahan makanan pokok bagi mayoritas masyarakat.
Grafik Harga Beras Bulanan. Sumber: PIHPSN
#3 Pemutusan Hubungan Kerja
Resesi ekonomi global, yang dipicu oleh berbagai faktor seperti pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan geopolitik, telah menyebabkan peningkatan pengangguran dan ketidakpastian pekerjaan.
Banyak sektor yang sebelumnya menjadi andalan kelas menengah, seperti industri manufaktur, pariwisata, dan jasa, mengalami penurunan drastis.
Hilangnya pekerjaan atau pengurangan pendapatan secara tiba-tiba membuat banyak keluarga kelas menengah kesulitan untuk mempertahankan gaya hidup mereka.
Data Jumlah dan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia.
PHK ini membuat masyarakat kemudian beralih dari pekerja formal ke informal. Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia per Februari 2024 tercatat 59,17%.
Persentase ini mengalami penurunan jika kita bandingkan dengan kondisi Februari 2023 mencapai 60,12%, namun mengalami kenaikan daripada Agustus 2023 yang mencapai 59,11%.
Meningkatnya jumlah pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa bersaing di lapangan kerja formal.
Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak menggunakan perlindungam asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya.
Tidak jarang mereka banting setir mencari pekerjaan menjadi supir taksi/ojek online atau berjualan di e-commerce.
Grafik Proporsi Tenaga Kerja Informal RI.
#4 Fenomena “Makan Tabungan”
Data Mandiri Spending Index menunjukkan fenomena makan tabungan (mantab) sangat terasa di kalangan menengah bawah. Tingkat belanja untuk kelompok bawah (konsumen dengan rata-rata tabungan < Rp1 juta) cenderung mengalami kenaikan.
Di saat yang bersamaan indeks tabungan mereka terkikis. Kondisi ini mencerminkan penggunaan tabungan sebagai bantalan konsumsi mereka.
Indeks Tabungan masyarakat kelas bawah anjlok dari kisaran 100 pada Januari 2023 menjadi hanya 41,8 pada Juni 2024. Sementara konsumsi mereka naik dari kisaran 90 pada Januari 2023 menjadi 109,1 pada Juni 2024.
Indeks Tingkat Belanja Per Individu dan Tabungan Per Individu.
Indeks tabungan kelas menengah sempat jeblok dari 100 pada Januari 2023 menjadi 96,6 pada Juni 2024. Sementara itu, konsumsi melonjak dari 120 pada Januari 2023 menjadi 122 pada Juni 2024.
Dalam analisis ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyebutkan bahwa konsumsi kelas menengah dan atas stagnan sejak 2022 dan menunjukkan adanya persepsi penurunan pendapatan pada 2024.
Selain itu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masyarakat dengan pengeluaran Rp1-2 juta turun ke 109,2 pada Juni 2024 padahal pada Mei 2024 masih 114,9.
Indeks tersebut menggunakan perhitungan metode balance score (net balance + 100) yang menunjukkan bahwa jika indeks di atas 100 berarti optimis dan di bawah 100 berarti pesimis.
Indeks keyakinan konsumen masyarakat dengan pengeluaran Rp1-2 juta.
Beban Kelas Menengah
Berikut ini adalah beberapa beban yang kelas menengah rasakan, antara lain:
#1 Pajak dan Pungutan lainnya
Beban terbesar yang kelas menengah rasakan salah satunya adalah adanya kenaikan pajak. Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu komponen yang signifikan dalam pengeluaran.
Adanya peningkatan sebesar 11% dari Pajak Pertambahan Nilai (PPn) juga menambah deretan pajak yang harus masyarakat bayarkan.
Selain pajak resmi dari pemerintah, kelas menengah juga terbebani oleh berbagai pungutan lain. Seperti iuran jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan atau jaminan hari tua, jaminan pensiun, hingga yang banyak orang bicarakan belakangan ini terkait iuran Tapera.
Iuran-iuran ini, jika kita akumulasikan dalam setahun, jumlahnya cukup besar dan memberatkan.
#2 Kesulitan dalam Dunia Kerja
Di sisi lain, dunia kerja juga menunjukkan tren persaingan yang semakin ketat, serta tuntutan untuk terus meningkatkan keterampilan dan kualifikasi, membuat banyak pekerja kelas menengah merasa tertekan.
Survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2024 mencapai 4,82%. Hal ini berarti bahwa dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia, terdapat sekitar 5 orang penganggur.
Berdasarkan tingkat pendidikan, pada Februari 2024 TPT tertinggi terdapat pada pendidikan tingkat menengah (SMA Umum dan Kejuruan) yaitu sebesar 7,44%.
Pada kondisi ini, dapat kita katakan bahwa terdapat tenaga kerja yang tidak terserap dalam pasar kerja terutama pada lulusan pendidikan tingkat menengah (SMA Umum dan Kejuruan).
Sementara itu, mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja. Hal ini dapat kita lihat dari TPT penduduk yang tidak pernah sekolah atau tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah yang relatif lebih rendah yaitu hanya sebesar 0,94%.
#3 Tekanan Konsumsi dan Pendidikan
Kelas menengah sering kali merasa harus mengikuti gaya hidup tertentu, termasuk memiliki barang-barang mewah atau menghabiskan uang untuk hiburan dan rekreasi. Sehingga, tekanan ini bisa mendorong mereka untuk berutang lebih banyak atau mengorbankan tabungan.
Selain itu, ada tekanan sosial untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak, yang sering kali berarti memilih sekolah atau universitas yang lebih mahal. Hal ini bisa menjadi beban tambahan bagi anggaran keluarga.
#4 Kenaikan Tarif PPN
Pemerintah berencana mengerek tarif PPn dari 11% menjadi 12% berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Keputusan itu sudah ditetapkan dalam Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 yang berlaku mulai Oktober 2021.
Pasal 7 ayat 1 beleid tersebut berbunyi: Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11% yang berlaku mulai 1 April 2022, dan sebesar 12% yang berlaku selambatnya pada 1 Januari 2025.
#5 Pembatasan Pertalite
Pemerintah berencana merombak subsidi energi pada 2025 demi mengejar penghematan Rp67,1 triliun per tahun seperti tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2025. Langkah itu ditujukan agar subsidi bisa diarahkan lebih tepat sasaran.
Efek yang mungkin timbul dari kebijakan itu adalah pembatasan konsumsi Pertalite. Pertalite sejauh ini masih menjadi BBM terbesar yang dikonsumsi masyarakat.
Ketika Pertalite dibatasi, konsumen akan tergiring mengonsumsi BBM nonsubsidi yang lebih mahal sehingga pengeluaran transportasi meningkat dan dapat mempengaruhi biaya logistik. Efek ke harga barang dan jasa juga bisa terasa.
#6 Kenaikan Tarif Listrik
Kabarnya Pemerintah juga berencana melakukan penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment) tahun depan untuk pelanggan nonsubsidi yakni rumah tangga dengan daya mulai 3.500 VA ke atas.
Alasannya, pelanggan listrik daya sebesar itu termasuk golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas sehingga tidak perlu diberikan subsidi atau kompensasi dari anggaran negara.
Bila rencana itu terealisasi, maka akan menjadi kenaikan tarif listrik kedua kali dalam empat tahun terakhir. Pada Juli 2022 lalu, pemerintah sudah mengerek tarif pelanggan daya 3.500 VA ke atas dari Rp1.444,7 per kwh menjadi Rp1.699,53 per kwh.
Kenaikan tarif itu mencapai hampir 18% dengan perkiraan kenaikan tagihan mencapai Rp111.000 per bulan bagi pelanggan R2 (3.500 VA hingga 5.500 VA) dan sebesar Rp346.000 bagi pelanggan R3 (6.600 VA ke atas).
Beban-beban di atas yang dirasakan kelas menengah membuat mereka berpikir sulit mencari uang untuk memenuhi kebutuhan. Dalam video ini, terdapat tips mudah mencari uang yang bisa Anda lakukan untuk menambah pemasukan. Yuk, ditonton.
Perencanaan Keuangan Kelas Menengah
Perencanaan keuangan bagi kelas menengah di Indonesia sangat penting untuk memastikan stabilitas keuangan pribadi maupun keluarga. Kelompok ini biasanya memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memiliki sisa untuk ditabung atau diinvestasikan.
Oleh karena itu, perencanaan keuangan yang matang diperlukan untuk mengelola pendapatan, pengeluaran, tabungan, investasi, dan perlindungan asuransi.
Dengan perencanaan yang baik, kelas menengah dapat mengantisipasi kebutuhan masa depan seperti pendidikan anak, perawatan kesehatan, dan pensiun, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi risiko finansial yang tak terduga.
Selain itu, strategi diversifikasi investasi dapat membantu mereka meningkatkan kekayaan dan mencapai tujuan finansial jangka panjang, sambil tetap menjaga keseimbangan antara konsumsi saat ini dan kebutuhan masa depan.
Berikut adalah tabel rangkuman DOs and DON’Ts dalam perencanaan keuangan bagi kelas menengah:
No |
DO(s) |
DON’T(s) |
1. |
Evaluasi pengeluaran, utamakan kebutuhan primer |
Konsumtif dan sering jajan di luar |
2. |
Buat budget pengeluaran |
Membeli barang yang bersifat lifestyle, bukan kebutuhan |
3. |
Menyiapkan dana darurat maupun asuransi |
Memiliki cicilan lebih dari 35% penghasilan |
4. |
Cari penghasilan tambahan |
Tidak menyiapkan dana darurat maupun asuransi |
Mari Rencanakan Keuangan!
Jadi, memang kondisi ekonomi Indonesia saat ini memberikan tekanan kepada mayoritas masyarakat yang termasuk kelas menengah.
Bila Anda ingin bersiap untuk menghadapi kondisi ekonomi saat ini agar keuangan tetap terjaga, Finansialku dengan senang hati dapat membantu untuk merencanakan keuangan sesuai dengan kebutuhan Anda.
Segera buat janji konsultasi dan dapatkan harga spesial bersama Perencana Keuangan Finansialku melalui WhatsApp 0851 5866 2940. Klik banner untuk info selengkapnya.
Disclaimer: Finansialku adalah perusahaan perencana keuangan di Indonesia yang melayani konsultasi keuangan bersama Certified Financial Planner (CFP) seputar perencanaan keuangan, rencana pensiun, dana pendidikan, review asuransi dan investasi.
Finansialku bukan platform pinjaman online dan tidak menerima layanan konsultasi di luar hal-hal yang disebutkan sebelumnya. Artikel ini dibuat hanya sebagai sarana edukasi dan informasi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagaimana pendapat Anda tentang informasi di atas? Yuk share pengalaman Anda di kolom komentar. Bagikan juga artikel ini ke teman-teman atau keluarga, jadi bisa sama-sama paham ya!
Editor: Ratna Sri Haryati
Sumber Referensi:
- Kelas Menengah Indonesia Itu Apa, Sih? asumsi.co – https://shorturl.at/sLHLB
- Antonius Purwanto. 28 Februari 2024. Mengenal Wajah Kelas Menengah Indonesia. kompas.id – https://shorturl.at/zSbuo
- Tim Riset Bloomberg Technoz. 24 Mei 2024. Ekonomi Kelas Menengah Sepertinya Bakal Lebih Berat pada 2025. bloombergtechnoz.com – https://shorturl.at/Fh5p2
- Suhandoko. 2 Juni 2024. Beban Berat Kelas Menengah Indonesia: Pungutan, Pajak, sampai Kesulitan Pekerjaan. wisata.viva.co.id – https://shorturl.at/hv9B9
- Mae. 25 Juli 2024. Kelas Menengah RI Menyerah, Banyak Mulai Jatuh Miskin! cnbcindonesia.com – https://tinyurl.com/4xzpd5jy
Sumber Gambar:
- Cover – https://shorturl.at/QY7oa
Leave A Comment