Risiko gagal bayar negara bisa menghantui semua negara. Bagaimana situasi ini bisa terjadi?

Temukan jawabannya dalam artikel Finansialku berikut ini!

 

Apakah Negara Bisa Dinyatakan Bangkrut?

Banyak orang khawatir dengan situasi Indonesia saat ini. Pasalnya, ketidakstabilan ekonomi ada di depan mata. Harga-harga naik tajam, inflasi besar, hingga situasi lain yang membuat masyarakat makin runyam.

Kondisi semacam ini membuat banyak orang bertanya: apakah negara bisa dinyatakan bangkrut? Jawabannya, sayang sekali, bisa.

Dalam konteks ekonomi kebangkrutan negara atau default terjadi saat mereka tidak mampu membayar utang atau komitmen keuangan lain. Kendati dinyatakan kolaps, negara bangkrut tetap berdaulat dan ada secara hukum.

Di masa modern, ada sejumlah kasus gagal bayar negara yang berujung kebangkrutan. Beberapa di antaranya:

  • Argentina — gagal bayar utang pada 1982, 1989, 2001, dan 2020
  • Yunani — krisis 2020
  • Venezuela — gagal bayar utang obligasi pada 2017
  • Sri Lanka — krisis mata uang dan gagal bayar pada 2022

[Baca Juga: Ini Daftar Negara yang Terancam Bangkrut Karena Utang]

 

Jika sebuah negara menghadapi situasi restrukturisasi utang yang berlarut-larut tanpa solusi, dampaknya paling besar akan dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Beban ini semakin berat karena mereka terpaksa mengurangi kebutuhan pokok seperti makanan dan bahan bakar. Tak hanya itu, akses terhadap pendidikan dan kesehatan—yang sering dianggap bukan kebutuhan primer—juga akan dipangkas.

Jika kondisi ini berlanjut, rasio kemiskinan akan melonjak, yang pada gilirannya berdampak pada penurunan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Seiring waktu, angka harapan hidup juga akan menurun seiring dengan meningkatnya angka kematian bayi dan meluasnya penderitaan masyarakat. 

Sebuah penelitian yang mengamati 131 negara yang mengalami gagal bayar menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun setelah kejadian tersebut, angka harapan hidup rata-rata turun 1,5% dibandingkan negara yang tidak bangkrut.

 

Kondisi Utang Indonesia Saat Ini

Keterbatasan infrastruktur dan konektivitas menjadi beban ekonomi yang berat bagi masyarakat, sekaligus meredupkan daya saing nasional.

Kondisi ini mendasari pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur guna mengejar ketertinggalan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, Pendapatan Negara yang belum mencukupi untuk membiayai semua kebutuhan tersebut menyebabkan defisit yang harus ditutupi melalui utang.

Utang negara yang dimaksud adalah utang pemerintah, tidak termasuk utang swasta.

Utang merupakan investasi jangka panjang yang digulirkan untuk membiayai belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Investasi ini akan memberikan efek ganda yang besar untuk generasi saat ini dan mendatang.

Secara ekonomis, langkah yang diambil pemerintah adalah strategi berbagi manfaat yang jauh lebih besar daripada beban yang ditanggung.

 

#1 Rasio Utang terhadap GDP & Stabilitas Fiskal

Sejauh ini, pemerintah mengklaim pengelolaan utang masih dalam koridor aman. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) disebut-sebut terkendali, bahkan diklaim lebih rendah dari sejumlah negara tetangga.

Sepanjang tahun 2014 hingga 2019, rasio utang pemerintah tercatat dalam kisaran 24,68% hingga 30,23% terhadap PDB. Angka ini bertambah seiring percepatan pembangunan infrastruktur.

Meski rasio sempat melonjak drastis akibat pandemi Covid-19, pemerintah berhasil menekan kenaikan utang sejak 2021. Pada 2023, utang tercatat sebesar 39,21% dari PDB, angka yang jauh lebih rendah dibanding Malaysia (67,3%), Tiongkok (83,6%), dan India (82,7%).

Hingga akhir Juli 2024, rasio utang kembali turun menjadi 38,68% terhadap PDB. Angka ini masih jauh di bawah batas aman 60% yang ditetapkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Secara struktur, utang pemerintah dianggap sehat dengan rata-rata jatuh tempo 8 tahun. Mayoritas utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) domestik (70,49%), SBN valuta asing (17,27%), dan pinjaman (12,24%).

Sekitar 39,6% SBN domestik dipegang oleh lembaga keuangan, 24,3% oleh Bank Indonesia, dan hanya 14,0% oleh asing. Sisanya dipegang oleh investor individu dan institusi domestik. Pemerintah juga terus mendorong pasar SBN agar lebih efisien untuk memperkuat daya tahan ekonomi.

 

#2 Pandangan Lembaga Internasional

Pemerintah Indonesia kembali mencatatkan penurunan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Per akhir Juli 2024, rasio utang tercatat 38,68%. Angka ini diprediksi akan terus membaik ke depannya.

Lembaga internasional seperti IMF juga memproyeksikan rasio utang pemerintah akan menurun bertahap hingga sekitar 38,3% dari PDB dalam jangka menengah. 

Penurunan ini didorong oleh selisih antara pertumbuhan ekonomi dan suku bunga. Selain itu, S&P Global Ratings juga mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level ‘BBB’ dengan prospek stabil.

Pemerintah sendiri berupaya menekan rasio utang melalui optimalisasi pendapatan negara dan reformasi perpajakan yang efektif. Selain itu, langkah lain seperti pengelolaan sumber daya alam dan aset negara, serta insentif fiskal terukur juga dilakukan untuk mempercepat investasi.

Lantas, mengapa pemerintah tetap berutang?

Utang dianggap sebagai alat strategis untuk memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ketika pendapatan negara tidak mencukupi. Selain itu, utang juga menjadi instrumen untuk mengembangkan pasar keuangan domestik.

Utang pemerintah terus didorong untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pembiayaan utang bersih direncanakan sebesar Rp775,9 triliun.

Rasio utang terhadap PDB dalam RAPBN 2025 diproyeksikan berada di kisaran 37,82% hingga 38,71%.

Sementara rasio pendapatan negara terhadap PDB direncanakan sebesar 12,32%. Pemerintah juga mendorong pembiayaan anggaran inovatif melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

 

Risiko Gagal Bayar: Mitos atau Fakta?

Risiko gagal bayar negara adalah fakta pahit yang menghantui banyak pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Dalam sejarah modern, negara bangkrut (default) terus bermunculan.

Pertengahan tahun ini, Bolivia harus berjuang keras memenuhi kebijakan utang atau kembali bangkrut seperti yang terjadi pada 1984.

Bolivia yang merupakan rumah bagi 12 juta orang mengalami stagnansi ekonomi lantaran ekspor gas yang menurun akibat habisnya sumber daya. Ditambah, negara tersebut tidak mengeksplorasi potensi lain.

Dampaknya, inflasi tahun ke tahun Bolivia mencapai 18,4% sehingga Boliviano terus mengalami penurunan nilai.

 

Upaya Pemerintah dan Reformasi yang Sedang Berjalan

Berikut adalah langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mengelola utang negara:

 

#1 Diversifikasi Sumber Pendanaan

Strategi ini bertujuan menghindari ketergantungan pada satu sumber pinjaman. Pemerintah memanfaatkan berbagai instrumen utang, seperti obligasi, pinjaman bilateral, atau pinjaman dari lembaga keuangan internasional. Penerbitan obligasi dalam mata uang lokal juga dilakukan untuk meminimalisasi risiko nilai tukar.

 

#2 Utang untuk Investasi Produktif

Utang diarahkan untuk membiayai proyek yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Contohnya adalah investasi di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Dengan demikian, utang tidak hanya menjadi beban, melainkan juga katalisator pembangunan yang berkelanjutan.

 

#3 Kebijakan Fiskal yang Terkendali

Pengelolaan utang juga sangat bergantung pada kebijakan fiskal yang sehat. Pemerintah perlu menjaga agar pengeluaran terkendali, seiring dengan upaya meningkatkan pendapatan.

Reformasi pajak dan efisiensi belanja negara menjadi langkah kunci untuk menekan defisit anggaran dan mengurangi kebutuhan utang.

 

#4 Manajemen Risiko Utang

Pemerintah harus bisa mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko-risiko yang muncul dari utang, seperti risiko suku bunga dan risiko nilai tukar. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan obligasi jangka panjang untuk mengunci suku bunga tetap.

Opsi lainnya adalah memprioritaskan utang dalam mata uang lokal atau melakukan lindung nilai (hedging) untuk mengelola fluktuasi nilai tukar.

 

Jangan Tutup Telinga dengan Situasi Keuangan Nasional

Bangkrutnya sebuah negara, atau sovereign default, bukan sekadar mitos ekonomi, melainkan ancaman nyata yang bisa menghampiri siapa saja. Kondisi ini terjadi ketika suatu negara tidak lagi sanggup membayar utang atau kewajiban finansialnya.

Untuk tetap selangkah di depan dan membuat keputusan yang tepat, penting bagi Anda untuk terus mengikuti perkembangan informasi ekonomi nasional secara berkala.

Kebijakan pemerintah memiliki dampak langsung pada kemudahan hidup dan akses ekonomi masyarakat.

Jika Anda memerlukan saran keuangan yang lebih komprehensif, Anda bisa menghubungi perencana keuangan dari Finansialku dengan cara klik banner ini atau hubungi Whatsapp 08515 5897 1311.

konsul - PERENCANAAN KEUANGAN Q3 23

 

Demikian pembahasan tentang risiko gagal bayar negara. Sampaikan tanggapan Anda di kolom komentar di bawah ini.

Jangan lupa bagikan artikel ini di media sosial agar lebih banyak yang paham. Terima kasih!

 

Sumber Referensi: 

  • Admin. 06 Mei 2025. Negara Bangkrut Bukan Mitos, Ini Faktor dan Contoh Nyatanya. starbanjar.com – http://bit.ly/3HDjSYy
  • Admin. 23 Agustus 2024. Utang Pemerintah yang Tetap Terkendali Mendukung Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional. ekon.go.id – http://bit.ly/3UwVN8Q
  • Admin. 25 Juli 2024. Apa yang Terjadi Apabila Negara Mengalami Bangkrut (Sovereign Default)? uniaircargo.co.id – http://bit.ly/3Ux6fNG
  • Admin. Strategi dan Kebijakan dalam Mengelola Utang Negara. djpb.kemenkeu.go.id – http://bit.ly/41c3dSF
  • Mentari Puspandini. 25 Agustus 2024. Rasio Utang RI 38,68% dari PDB, IMF Ramal Bakal Terus Turun. cnbcindonesia.com – http://bit.ly/3Uxgu4s
  • Rindiyana Amavista. 17 Januari 2023. Komunita News Update : Kenapa sih Indonesia berutang? kemenkeu.go.id – http://bit.ly/41c3gxP
  • Sef. 20 Juni 2025. Negara Ini Terancam Bangkrut karena Gagal Bayar Utang. cnbcindonesia.com – http://bit.ly/3V1uaVw