Hubungan Indonesia dan Korea Selatan diwarnai budaya fandom K-Pop dan pekerja migran Indonesia.

Ketahui pembahasan selengkapnya di artikel Finansialku di bawah ini.

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

Magdalene.co

 

‘Fandom’ Kpop, Pekerja Migran Warnai Hubungan Indonesia-Korea Selatan

Hubungan kebudayaan Indonesia dan Korea Selatan sejatinya telah dimulai sejak tahun 1960, yang kemudian diperkokoh dengan simbol didirikannya kantor diplomat di masing-masing negara pada 1973.

Sekarang, hubungan kedua negara ini ditandai dengan adanya istilah fandom Kpopers.

Korean Wave sendiri dimulai sejak munculnya serial drama Winter Sonata dan Full House pada awal 2000-an, yang kemudian merambah ke ranah musik, yaitu Kpop.

Mengutip The ASEAN Post, data dari aplikasi streaming musik Spotify pada Januari 2020 lalu, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia untuk negara dengan streaming Kpop terbanyak setelah Amerika Serikat.

Endah Triastuti, akademisi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI), mengatakan kalau Indonesia adalah salah satu pasar besar KPop di Asia Tenggara.

Popularitas KPop di kalangan orang muda menunjukkan adanya keinginan untuk hadir sebagai bagian dari komunitas kosmopolitan.

Endah Triastuti juga mengatakan kalau kegemaran remaja Indonesia terhadap Kpop meningkatkan dinamika sosio-budaya melalui globalisasi dan membuka wacana maupun kesadaran politik lewat budaya fandom.

Ketika seseorang bergabung dengan suatu fandom KPop, akan akan kegiatan berbagi pengalaman atas dasar ketertarikan yang sama dan secara natural membentuk solidaritas.

Kemudian, di tengah interaksi tersebut, penggemar tidak takut mengadopsi posisi politik dari idola yang mereka sukai.

Bahkan tidak jarang, mendedikasikan pengetahuan dan tenaga untuk gerakan sosial-politik yang berdampak secara lokal maupun global.

“Dunia Kpop lebih dari komoditas komersial dan mengejutkan, hal yang kita ketahui 10 tahun lalu perlahan-lahan berubah menjadi gerakan sosial lewat internet dan diskusi dalam fandom.” Katanya dalam seminar virtual hasil kerja sama Seoul National University (SNU) Asia Center dan FISIP UI; Indonesia in Korea and Korea in Indonesia (26/11).

Fandom KPop dan Pekerja Migran Warnai Hubungan Korsel - Indonesia 02

[Baca Juga: Lulusan Sastra Korea? Ini Peluang Kerja Buat Kamu!]

 

Ia mencontohkan bahwa praktik kesadaran politik itu dengan gerakan yang baru-baru ini menjadi perhatian dunia, Black Lives Matter di AS.

Saat itu, aplikasi Dallas Police dipenuhi dengan potongan video singkat penampilan idol Kpop untuk mencegah aksi pelaporan demonstran kepada polisi.

Di Indonesia, para Kpopers juga berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial politik, mulai dari donasi atas nama idola sampai sikap menolak Omnibus Law.

Fanatisme ini kemudian telah berubah menjadi gerakan politik.

Endah juga menambahkan kalau praktik yang dilakukan dalam fandom untuk berbagai isu, khususnya politik ini sudah mengubah pola konsumerisme industri di era digital.

“Berbeda dengan penggemar musik Ango-Amerika yang berfokus pada praktik berkaitan erat dengan kapitalisme, dedikasi penggemar KPop jalan atas dasar ekspektasi emosional hingga keuntungan yang tidak terlihat lainnya.” Katanya.

Kegemaran terhadap KPop juga terjadi di seluruh belahan dunia, sehingga akademisi menyebut penggemar sebagai ‘Free labors’ lewat dedikasinya dalam mempromosikan dan membela idola mereka.

Endah juga melihat adanya fandom yang tidak mengizinkan aktivitas multifandom atau adanya perang antar penggemar.

“Namun, jika dihadapkan dengan isu politik, perang antar fans itu menghilang. Mereka juga saling mengedukasi tentang moralitas dari isu yang mereka diskusikan.” Ungkapnya.

 

Ebook Perencanaan Keuangan Untuk MAHASISWA

Download Sekarang, GRATISSS!!!

8 Ebook Perencanaan Keuangan Mahasiswa

 

Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan

Relasi antar kedua negara juga ditandai dengan highly skilled migrants atau pekerja migran Indonesia dengan keterampilan tinggi memilih untuk bekerja di Korea Selatan.

Nur Aisyah Kotarumalos, akademisi tamu di SNU Asia Center, mengatakan kalau ekspatriat di Indonesia di Korea Selatan memandang diri mereka sebagai masyarakat global dan ingin mengembangkan karier.

Korea Selatan disebut sebagai pilihan negara yang tepat dan memenuhi syarat karir internasional tersebut.

“Artinya mereka ambisius dan agresif, mereka ingin mencapai hal di luar batasan nasional. Mereka melihat Indonesia masih kecil dan Korea Selatan memberi kesempatan untuk mengembangkan karir.” Kata Aisyah.

Dalam panel diskusinya tentang, “Indonesian Highly Skilled Migrants in South Korea” yang juga dilaksanakan di webinar yang sama, dikatakan bahwa masih sulit untuk mendata ekspatriat berkualitas Indonesia karena kurangnya dokumentasi dari kedutaan.

Selain itu, pekerja migran dengan kompetensi yang bagus, dalam artian memiliki gelar dari studi universitas serta keahlian sesuai persyaratan di Korea, selalu diartikan sebagai kulit putih, punya privilege, dan berasal dari negara Barat.

“Yang kita temukan tentang pekerja migran Indonesia selalu diasosiasikan dengan pekerja domestik atau yang tidak terdokumentasi. Selalu juga ada pandangan miring tentang migran dan imigran yang non-western, bukan kulit putih, dan bukan subjek elit. Sehingga pengalaman mereka tidak dianggap serius.”  Kata Aisyah.

Adapun, pengalaman pekerja migran selalu dibagi atas dua bingkai, kulit putih  dan bukan kulit putih.

Fandom KPop dan Pekerja Migran Warnai Hubungan Korsel - Indonesia 03

[Baca Juga: Liburan ke Korea Selatan Pakai Reksa Dana? Ini Caranya!]

 

Untuk memperkaya penelitian dan literasi tentang pekerja migran non-western, khususnya Indonesia dan pengalaman mereka terkait budaya dan tatanan hierarkis dunia kerja Korea Selatan.

Secara garis besar, pekerja Indonesia dibagi atas dua kategori, yaitu self initiated expatriates dan assigned transfer dari perusahaan Korea di Jakarta.

Budaya kerja yang mereka alami juga berbeda, ada yang lebih tradisional, yang mengindikasikan sulitnya keseimbangan hidup kerja dan pribadi.

Sementara itu ada pula budaya perusahaan modern yang jauh lebih lugas dan memudahkan pekerja untuk memiliki waktu pribadi.

Tatanan hierarkis dan senioritas juga sangat penting dan bisa ditemukan dalam kedua budaya korporasi tersebut.

Pekerja harus menyebut posisi mereka dalam perusahaan saat saling berkenalan dengan urutan pemanggilan; Nama, diikuti dengan posisi, lalu -Nim.

Sebagai pekerja asing, ekspatriat Indonesia tidak dipandang sebagai saingan tetapi sulit membangun relasi dengan sesama pekerja jika tidak memiliki koneksi langsung dengan koleganya.

“Salah satu responden mengatakan sulit menjalin pertemanan bahkan jika duduk bersebelahan. Kalau deskripsi pekerjaan tidak saling berhubungan, mereka tidak akan bicara. Sangat berbeda dengan Indonesia.” Kata Aisyah.

Kendati demikian, Aisyah menemukan pekerja migran dengan keterampilan tinggi ini memiliki pengalaman positif bekerja di perusahaan Korea Selatan, umumnya karena mereka bekerja dengan budaya kerja yang jauh lebih modern.

“Perbedaan budaya yang mereka temukan di ranah kerja dianggap sebagai kesempatan untuk belajar. Mayoritas dari mereka memang telah mengemban pendidikan perguruan tinggi di Korea, jadi tidak ada kesulitan menyesuaikan diri. Yang tidak sekolah di Korea juga tetap menganggap ini sebagai pengalaman positif.” Tuturnya.

 

Bagaimana pendapat Sobat Finansialku mengenai hal ini? Mari kita diskusikan di kolom komentar!

Sobat Finansialku juga bisa mendiskusikan hal ini bersama teman atau keluarga dengan membagikan artikel dari Finansialku lewat pilihan platform yang tersedia di bawah ini. Terima kasih.

 

 

Artikel ini merupakan hasil kerja sama Finansialku dengan Magdalene.co. Isi dan data yang tertera dalam artikel merupakan tanggung jawab Magdalene.co

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • Gambar – https://bit.ly/3hT6Uoa, https://bit.ly/38rq6qh, https://bit.ly/2LfVBum