Menerima beasiswa ke luar negeri tidak berarti hidup enak di negeri orang. Simak kisah perjuangan para penerima beasiswa berikut ini.

Ketahui selengkapnya dalam artikel Finansialku di bawah ini!

 

Artikel ini dipersembahkan oleh:

Kompas.com

 

Kisah Dari Penerima Beasiswa

Setiap beasiswa memiliki proses seleksi berbeda-beda. Ada “hanya” memberikan penilaian berdasarkan dokumen, dan ada juga menyertakan berbagai mekanisme seleksi seperti interview dan focus group discussion.

Saya sering ditanya dalam setiap presentasi saya: orang seperti apakah yang sebenarnya dicari dan diinginkan setiap lembaga pengelola beasiswa.

Jawaban standarnya tentunya adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan dan kriteria ditetapkan. Setiap beasiswa tentunya memiliki persyaratan dan kriterianya masing-masing.

Untuk persyaratan biasanya sifatnya generik seperti nilai kemampuan bahasa Inggris, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan persyaratan administratif lainnya.

Demikian pula untuk kriteria juga cukup standar misalnya motivasi, kepemimpinan, dan kemampuan berkomunikasi.

Kisah Penerima Beasiswa Tinggalkan Zona Nyaman Untuk Berdampak Penerima beasiswa Stuned di Tilburg University

Penerima beasiswa Stuned di Tilburg University

 

Membahas tentang kriteria memang agak sulit karena karena definisi dan instrumen ukur yang beragam, dan terkadang subyektif.

Menurut saya untuk mengetahui profil seperti apa yang dicari, yang paling straight forward adalah dengan melihat “produk” atau output dari program beasiswa itu. Dan output yang paling kentara adalah profil para alumni.

They are the real showcase!

Alumni penerima beasiswa StuNed, program beasiswa Belanda, sangat beragam, baik dari sisi daerah asal, latar belakang pendidikan dan profesi.

Namun seharusnya ada benang merah yang dapat ditarik dari sekitar 4.600 alumni alumni StuNed tersebut.

Saya pun mencoba menerawang profil-profil tersebut walaupun mungkin tidak semua saya kenal cukup dekat. Terawangan saya membawa saya ke beberapa profil alumni.

 

A Tale of Two Lawyers

Namanya Affan. Ia adalah salah seorang alumni penerima beasiswa StuNed yang boleh dibilang cukup cemerlang perjalanan kariernya. Ia seorang associate lawyer di firma hukum korporasi top-tier di Indonesia.

Affan adalah typical lawyer ibu kota yang selalu tampil rapih dengan penampilan yang sangat corporate look. Affan mengambil program studi Law and Technology di Tilburg University di Belanda.

Sedikit pendiam namun Affan adalah orang yang sangat pragmatis, ambisius dan terstruktur.

Kemudian, tersebutlah Arie, teman Affan satu jurusan di universitas yang sama. Bak Groningen–Maastrich–satu di ujung utara, satu lagi di ujung selatan, keduanya memiliki ingredients yang sangat berbeda!

Arie dengan rambut gondrongnya dan gaya lebih casual adalah seorang ligitator sekaligus peneliti yang kariernya lebih banyak di organisasi nirlaba.

Dibandingkan Affan, Arie jauh lebih ekspresif, menggebu, lugas namun terkadang melankolis.

Ia menyikapi dan menjalani hidup dengan lebih santai namun dengan pemikiran super dalam yang terlihat dari isi dan gaya tulisan-tulisannya.

 

Selama studi di Belanda, keduanya berjuang menghadapi sebuah tantangan baru. Tantangan yang meminjam istilah Arie judul besarnya adalah “Ketika Dignity Terinjak-Injak”.

Bagaimana Affan terpaksa harus puas minum kopi encer dari vending machine di kampus seharga 1 euro dan melupakan kental dan fancy-nya kopi seharga 50-60 ribu rupiah yang hampir setiap hari dibelinya di gerai kopi ternama di lobi kantornya di kawasan segitiga emas di Jakarta, menjadi salah satu highlight dari kisah epik itu.

Juga cerita bagaimana ‘baper’ dan terhempasnya ego Affan pada saat ditegur oleh petugas kantin di kampus ketika kedapatan mengambil lebih dari satu lembar tissue saat makan siang!

Arie juga bergulat dan berjuang dengan tantangan yang dihadapinya. Ia melihat pengalaman selama di Belanda bukan sekedar belajar untuk mencari ilmu pengetahuan namun belajar untuk bertahan dalam setiap situasi yang penuh cobaan.

Bertahan dan bersabar katanya. Tuntutan akademis yang berat dan tak kenal waktu tak jarang menguji ketahanan fisik dan mental.

Catatan penting dari Arie adalah kadang kita melupakan sisi humanis dan hanya mengandalkan sisi nalar semata.

Kita harus belajar bahagia dari hal-hal sepele, bodoh dan norak sekalipun. Kedua sisi itu harus tumbuh secara simultan jika kita ingin unggul dan terus berjalan ke depan.

Dan kira-kira dua minggu lalu saya mendapat sebuah pesan singkat di Whatsapp dari Affan, yang isinya, “Bu Indy… saya mau meng-update sekaligus mohon restu dari Ibu. Saya sama Arie buka law firm sendiri Bu.”

“Baru soft launching hari ini. Terima kasih kami haturkan kepada Ibu dan Nuffic Neso yang sudah mempertemukan kami 3 tahun yang lalu.”

Kisah Penerima Beasiswa Tinggalkan Zona Nyaman Untuk Berdampak 02

[Baca Juga: Mau Ambil Beasiswa Luar Negeri? Baca Dulu Informasi Selengkapnya!]

 

Sungguh saya tercekat membacanya. Affan keluar dari firma hukum besar itu? Affan dan Ari? How could it be possible? Dua orang yang sangat berbeda. Apa yang membuat mereka bersatu dan sepakat untuk bekerja bersama?

Walaupun memaknai dunia dari sisi berbeda Affan dan Arie sepakat paling tidak untuk satu hal bahwa hidup dan kuliah di Belanda adalah perjuangan dari awal sampai akhir, dari matahari terbit sampai terbit lagi, dari hari pertama tiba sampai tiba saatnya memesan one-way ticket Amsterdam-Jakarta untuk pulang ke tanah air ketika studi hampir tuntas, yang nikmatnya tak dapat dilukiskan.

Itulah landasan pertama pertemanan dua orang yang sebenarnya sangat berbeda. Teman sependeritaan!

Lebih jauh lagi mereka memiliki persamaan dalam menyikapi sebuah tantangan dan perjuangan. Serta kesadaran bahwa percepatan untuk meraih sesuatu dengan impact yang lebih dahsyat tak lain adalah dengan meninggalkan zona nyamannya masing-masing.

Mereka memiliki kesadaran bahwa istana berisi kenyamanan harus ditinggalkan, karena nothing great comes from a comfort zone.

Affan harus rela hanya memiliki sepeda (bekas) untuk mengantarnya kemana-mana selama di Belanda, dalam medan apapun.

Katanya, belum tinggal di Belanda jika belum merasakan bersepeda di suhu di bawah nol derajat celsius sambil melawan angin yang berhembus kuat tegak lurus langsung ke dada, angin khas Belanda!

 

Sementara Arie harus menerima kenyataan bahwa hakikat ilmu bukan di dapat dari sebuah tesis berkualitas sesuai dengan yang direncanakan namun dari pembelajaran tentang hidup ketika menyaksikan betapa ‘norak’ namun bahagianya mahasiswa Indonesia dalam merayakan turunnya salju, nikmatnya menertawakan diri sendiri ketika harus makan bihun goreng buatan sendiri pada saat buka puasa bersama yang penampakannya lebih mirip nasi goreng!

Segala perenungan dan kontemplasi dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan sungguh sebuah ilmu yang tak berhenti mengalir dan tak berbatas ruang yang disebutnya sebagai pelajaran Kelas Dalam Diri.

Itulah interface seorang Affan dan seorang Arie. Itulah titik temu keduanya.

Kini mereka sepakat untuk kembali meninggalkan zona nyaman mereka yang bernama kemapanan dan kestabilan untuk sesuatu yang baru yang tak seorangpun tahu dan menjamin keberhasilannya.

Affan meninggalkan posisi senior associate, sebuah posisi yang sudah pasti memberikan berbagai fasilitas dan paket remunerasi premium.

Sebuah keputusan yang mungkin jauh lebih sulit dibandingkan dengan keputusan untuk meninggalkan pekerjaan dan mengejar gelar master di di kota (super) kecil Tilburg di Belanda.

Arie pun kali ini harus rela meninggalkan zona nyamannya yang terbalik dengan Affan yaitu fleksibilitas, kelugasan berpikir dan berpendapat seperti apa yang ia sering tuangkan dalam berbagai tulisan dan artikelnya di media, yang harus ditukarnya (mungkin) dengan jas dan sepatu pantopel kulit, rutinitas dan kepentingan klien.

 

Pemuda Dari Selatan

Kemudian ada Ulil. Seorang penerima beasiswa StuNed yang berasal dari Makassar. Dari awal saya sudah melihat motivasi yang kuat dari pemuda berambut ikal ini.

Bayangan akan suasana indah kuliah di Eropa, ditambah dengan kesempatan berjalan-jalan ke berbagai negara, serasa sirna begitu Ulil menjalankan hari-hari dan bulan-bulan pertamanya di Belanda.

Ulil serasa ditampar oleh sistem perkuliahan yang sangat demanding, dan menuntut kemandirian tingkat dewa yang hampir membuatnya tidak dapat bernapas.

Perjuangan untuk sekedar survive saja sudah membuat hidup Ulil di Wageningen kota (kecil juga), sangat berat dan menantang.

Belum lagi kemampuan bahasa Inggris yang menurutnya just average itu ternyata tidak cukup sebagai modal untuk dapat mengikuti perkuliahan yang interaktif yang menuntut semua mahasiswa untuk berani berpendapat, bertanya dan bahkan mengkritik.

Namun keadaan itu tidak membuatnya gamang dan berhenti di tengah jalan. Katanya, jika kita dalam situasi ‘kepepet’ maka kreatifitas biasanya malah muncul.

Dengan berbagai jurus Ulil mampu sedikit demi sedikit mengatasi masalahnya dan bahkan mulai menikmati kehidupan barunya.

Ia bahkan memberanikan diri membuka jasa pemotongan rambut “Ahsan Pangkas” untuk teman-temannya dan hanya meminta bayaran doa tulus ikhlas dari setiap pelanggannya!

Kisah Penerima Beasiswa Tinggalkan Zona Nyaman Untuk Berdampak weningen

Penerima beasiswa Stuned di Wageningen University

 

Ya doa! Katanya kalau banyak yang mendoakan saya pasti beban hidup saya disini menjadi lebih ringan.

Itulah Ulil. Situasi tidak menjadi lebih mudah tapi cara melihat dan menyikapi kondisi lah yang harus dirubah.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Development and Rural Innovation di Wageningen, University, Ulil kembali ke Makassar dan bekerja sebagai peneliti di Universitas Hasanudin.

Tak sedikit tawaran ia dapat untuk bekerja di ibu kota dari beberapa NGO internasional namun Ulil tidak silau dengan cahaya Jakarta dan lebih memilih menjadi peneliti di kampung halamannya.

Ulil berpendapat bahwa untuk membuat sebuah terobosan yang besar dengan dampak yang langsung dapat dirasakan maka ia harus terjun langsung ke tempat dimana titik masalah itu berada.

Karenanya ia memilih berkarya di daerah asalnya. Ia percaya bahwa dengan terjun langsung ruang untuk berpikir kritis dan inovatif terbuka lebar. Dua ketrampilan yang ia dapatkan dari Belanda.

 

Tinggalkan Zona Nyaman, Jadi Penerima Beasiswa!

Affan and Arie menggali dan mendapatkan ilmu Law and Technology, dan Ulil menggeluti ilmu Development and Rural Innovation. Namun bukan itu benang merahnya.

Pengalaman studi di luar negeri mengajarkan mereka untuk mampu meninggalkan zona nyaman mereka, untuk bertahan, dan tetap merancang impian mereka.

Kopi encer dari vending machine di kampus, sepeda bekas, bihun goreng rupa nasi goreng, tugas kuliah yang tak berujung, suhu dingin yang menusuk pada saat pulang dari perpustakaan kampus jam 12 malam, roti keras di pagi hari (dibandingkan dengan coto Makassar hangat), hanyalah sedikit dari cerita dan tempaan keras yang harus dihadapi.

Dalam situasi ketidaknyamanan maka ketangguhan (resiliensi) tingkat advanced untuk dapat bertahan sangat diperlukan.

Tahan banting terhadap hujan, badai, salju, nilai yang ‘pas-pasan’, jurnal setebal bantal yang harus dilalap dalam semalam, rindu kampung halaman dan kelugasan orang Belanda dalam berbicara yang kadang membuat “sakitnya tuh di siniii.”

Itulah kemampuan beradaptasi. Sebuah ‘keterampilan’ yang kadang luput dari radar kita karena kita menganggap bahwa hanya orang-orang yang pandai secara akademis lah yang dapat bertahan dan unggul.

03Kisah Penerima Beasiswa Tinggalkan Zona Nyaman Untuk Berdampak

[Baca Juga: Founder & Money: Jerome Polin, Raih Beasiswa Hingga Jadi Youtuber Muda]

 

Ketiga alumni StuNed tersebut bukan hanya meraih gelar master di bidangnya masing-masing namun juga kualitas dan nilai-nilai serupa (common values) yang terbentuk dan terkultivasi selama mereka di Belanda yaitu kesadaran dan kemampuan untuk melihat ke depan (visioner), ke samping (impact-oriented) dan ke dalam (passion, resiliesi, dan determinasi).

Itulah gambaran dari orang-orang yang kami cari, orang-orang yang memiliki potensi tersebut dan siap untuk diasah dan ditempa dalam ‘medan pertempuran’ di Belanda.

Mereka lah orang-orang yang rela meninggalkan zona nyamannya, me’nol’kan dan mengkalibrasi egonya demi sebuah cita-cita bernama perubahan yang berdampak.

Tantangan bagi para pengelola beasiswa adalah mengenali potensi-potensi tersebut dari para pelamar beasiswa.

Potensi ini harus dapat terdeteksi dari awal untuk memastikan success rate dari program beasiswa tersebut.

Potensi yang akan tumbuh subur jika disemai di tempat yang tepat.

Tidak sulit mencari kandidat yang pandai (academically), dan berkemampuan bahasa Inggris baik, namun yang sulit adalah menemukan orang pandai, berprestasi dan disertai dengan karakter kuat dan nilai-nilai yang diperlukan untuk dapat unggul di masa dimana perubahan hanyalah satu-satunya kepastian.

 

Selamat berburu beasiswa!

 

Bagaimana menurutmu, Sobat Finansialku tentang artikel di atas? Kamu bisa berbagi komentar lewat kolom komentar di bawah ini.

Sebarkan informasi ini seluas-luasnya lewat berbagai platform yang tersedia, agar kawan atau sanak-saudaramu tahu apa yang kamu ketahui. Semoga bermanfaat, ya.

 

Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara Finansialku dengan Kompas.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab sepenuhnya Kompas.com.

 

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • https://bit.ly/3aBqJgu
  • https://bit.ly/3tluL5z
  • https://bit.ly/36Gvt3s