Cerita Ramadan: Terus Mengayuh Hingga Tak Sanggup adalah kisah tentang seorang tukang becak yang mencintai pekerjaannya walaupun sering kesulitan mencari penumpang.

 

Terus Mengayuh Hingga Tak Sanggup

Saya mau tamasya
Berkeliling keliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak, becak, coba bawa saya

Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki
Melihat dengan asyik
Ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari
Bagaikan tak berhenti
Becak, becak, jalan hati-hati

 

Apakah dulu Anda pernah berkeliling kota naik becak seperti lagu anak populer di atas?

Sebagai orang Indonesia, tentunya Anda tidak asing lagi dengan kendaraan tradisional beroda tiga ini. Memang, sejak awal abad 20, becak telah wara-wiri di berbagai kota di Indonesia, salah satunya kota Bandung.

Saya sendiri, ketika masih berada di bangku sekolah dasar, pernah mengandalkan jasa becak untuk berangkat dan pulang ke sekolah setiap hari.

Masih lekat di ingatan saya, pepohonan rindang sepanjang jalan menyapa saya yang masih mengenakan kemeja putih dan rok merah.

Sembari menyender di bangku penumpang, menikmati sejuknya cuaca Bandung. Tanpa kemacetan, dan tanpa asap mobil yang sepekat sekarang.

Ketika hari Sabtu lalu saya menyambangi daerah sekolah saya di Jalan Citarum, saya melihat sebuah becak yang terparkir di dekat Gedung Sate.

Saat saya mendekati becak tersebut, rupanya ada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di dalamnya.

Wajahnya terasa familiar bagi saya. Rupanya, pria paruh baya itu adalah tukang becak yang sempat menjadi langganan saya dulu, Pak Mahir.

Pertama kali ia berprofesi sebagai tukang becak adalah di tahun 70, dan kini di usianya yang sudah lebih dari 80 tahun, ia masih menjadikan becak sebagai sumber mata pencahariannya.

Pak Mahir tinggal di Padalarang, bersama putranya yang sudah berkeluarga. Istrinya sudah lama tiada.

Namun, meski putranya sudah berpenghasilan dan bersedia menanggung biaya hidupnya, Pak Mahir tetap bersikukuh untuk menjadi tukang becak di Bandung.

“Bapak nggak betah Neng kalau di rumah doang. Pengen kerja terus..”

 

 

Di pagi buta, Pak Mahir mengejar kereta untuk bertolak ke kota kembang. Di Bandung lah ia mencari penumpang dengan becak sewaannya.

Setiap harinya, Pak Mahir mengaku harus membayar uang sewa becak sebesar Rp6.000.

Namun, tahun 2018 ini tak sama dengan 30 atau 40 tahun yang lalu. Kendaraan berbasis online seakan melumpuhkan keberadaan becak-becak di kota Bandung.

Meksipun begitu, Pak Mahir masih mencintai pekerjaannya. Ia bahkan bekerja setiap hari, dari Senin sampai Minggu.

Walaupun begitu, tidak ada yang berminat untuk menggunakan jasanya. Ia terkadang berpikir, apakah karena fisiknya yang sudah renta, orang-orang tidak percaya akan kekuatannya menggenjot pedal becak?

Padahal, ia meyakini bahwa ia masih kuat dan masih bisa membawa dua penumpang sekaligus.

 

Daftar Aplikasi Finansialku

Download Aplikasi Finansialku di Google Play Store

 

Karena sepinya pelanggan, ia pun tidak bisa pulang ke Padalarang. Ia baru bisa pulang kalau sudah ada beberapa penumpang yang naik becaknya.

Pasalnya, selain harus menyetor uang ke juragannya, ia juga harus memiliki uang untuk naik kereta ke Padalarang.

“Uangnya habis buat bayar sewa becak, Neng. Makanya Bapak nggak bisa pulang. Ini udah lebih dari seminggu Bapak tidur di becak.”

 

Apabila ia tidak bisa pulang, ia pun terpaksa tidur di becak. Meskipun udara dingin menusuk tulang-tulangnya yang sudah mulai rapuh, walaupun badannya sakit karena tidak bisa berebahan di kasur, ia tetap bersyukur karena bisa bertemu dengan orang-orang baik yang mau berbagi rezeki dengannya.

Setiap harinya, ia tidak pernah punya sepeserpun uang untuk makan. Ia hanya bisa menunggu rezeki dari penumpang yang ingin diantar dengan becaknya.

Tapi, tukang becak ini selalu mendapatkan makanan dari orang-orang yang lewat. Ia juga kerap mendapat parcel dari mahasiswa sekitar pangkalannya.

Alhamdulillah, bisa makan sahur dan bisa makan buat buka, sok aya nu ngintun tina mobil (suka ada saja mobil lewat yang memberi makanan).”

 

 

Saat saya bertanya, kapan Pak Mahir akan “pensiun” dari membecak, ia mengatakan tak berencana untuk “pensiun dini”.

Pria paruh baya yang telah memiliki 12 cucu dan 3 cicit ini berkata, ia masih ingin berkeliling mencari penumpang, menghampiri orang-orang yang sedang jalan kaki, menyapa anak-anak sekolahan yang baru pulang.

Ia masih ingin terus bekerja karena merasa masih kuat dan tubuhnya pun masih sehat. Ia malah takut akan mudah jatuh sakit bila hanya diam di rumah.

“Selama masih kuat, Bapak mau tetap narik becak. Lumayan uangnya untuk incu dan buyut (cucu dan cicit) di rumah.”

 

Di siang itu, meski saya masih ingin berbincang dengan Bapak Mahir, kami harus berpisah karena ia mau melanjutkan berkeliling setelah beristirahat sebentar.

Saya salut dengan semangatnya untuk terus menjadi tukang becak dan bekerja dengan ikhlas. Profesi ini bukan sebagai pekerjaan semata, tapi menjadi tukang becak sudah menjadi hobi dan mengalir di dalam darahnya.

Itulah kunci  supaya kita bisa bekerja dengan ikhlas, yakni dengan mencintai pekerjaan yang kita jalani.

 

Apakah semangat bekerja Pak Mahir menginspirasi Anda? Mari bagikan kisah ini kepada sahabat Anda yang sedang butuh motivasi dalam bekerja!

 

Sumber Gambar:

Dokumentasi Pribadi

 

Free Download Ebook Perencanaan Keuangan untuk Umur 20 an

Ebook Perencanaan Keuangan untuk Usia 20 an Perencana Keuangan Independen Finansialku