Mungkin Anda adalah salah seorang yang bingung kenapa BPJS defisit dan preminya harus dinaikkan. Ternyata ada 4 hal yang diduga memicunya.

Agar lebih jelas, mari simak penjelasannya dalam artikel Finansialku berikut ini. Selamat membaca!

 

Rubrik Finansialku

Rubrik Finansialku and News

 

Kenapa BPJS Defisit

Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu mencatatkan defisit keuangan setiap tahun sejak lembaga tersebut didirikan pada 2014. Angkanya bahkan setiap tahun mengalami peningkatan.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab BPJS Kesehatan mengalami defisit yang semakin membesar dari tahun ke tahun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan selain persoalan tindakan medis seperti yang disampaikan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, ada hal lain yang menimbulkan masalah itu terjadi.

Pertama, dari sisi penganggaran di dalam Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT). Menurutnya, penerimaan yang ditargetkan dari iuran BPJS Kesehatan lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dibayarkan.

Dalam RKAT itu pendapatan untuk 2019 sekitar Rp88,8 triliun, sedangkan pembiayaan sekitar Rp102,02 triliun.

“Dengan carry over 2018 ke 2019, defisit RP 9,15 triliun, maka dari sisi penganggaran saja BPJS sudah mengatakan kami defisit.”

 

Kedua, terkait iuran. Ia mengatakan ketika BPJS Kesehatan mulai dibentuk pada 2014, saat itu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan iuran BPJS sebesar Rp27.000.

Namun, saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menetapkan besaran iuran jauh di bawah usulan DJSN, yaitu sebesar Rp19.225.

Hal seperti ini sebelumnya pernah terjadi pada 2016 ketika tariff BPJS Kesehatan naik. Saat itu, DJSN mengusulkan besaran tariff iuran sebesar Rp36.000.

Namun Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani menetapkan besaran iuran Rp23.000.

“Artinya, terjadi gap. (Besaran) iuran ini tidak cocok untuk mengoperasikan JKN ini. Ini soal politik anggaran.”

 

Timboel menyatakan, keputusan politik pemerintah menetapkan besaran tarif iuran yang lebih rendah dibandingkan usulan DJSN, bukanlah sebagai sebuah kebijakan populis.

Pada saat itu pemerintah dianggap belum memiliki perhatian yang cukup besar terhadap sektor kesehatan.

“Dengan defisit meningkat, apakah kesehatan menjadi prioritas pada saat itu.”

 

Ketiga, persoalan muncul karena masih banyaknya pemerintah daerah yang belum taat kepada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Di dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan jika pemerintah pusat diwajibkan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5% di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Sedangkan untuk pemerintah daerah sebesar 10% di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Sejauh ini, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai dengan UU sebesar 5 persen dari total anggaran yang direncanakan.

“Faktanya, masih ada kepala daerah yang tidak ikut JKN. Contohnya di Kota Bekasi, itu dia pakai Kartu Bekasi Sehat, mengelola sendiri. Artinya apa? Potensi pemasukan tidak jadi masuk.”

 

Selain itu, di dalam Pasal 99 dan 100 Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, terdapat kontribusi yang harus disetorkan daerah ke BPJS Kesehatan dari realisasi penerimaan pajak rokok.

Besaran pajak tersebut yakni 75 persen dari 50 persen realisasi penerimaan pajak rokok yang menjadi bagian hak dari masing-masing daerah provinsi, dan kabupaten/kota.

“Kalau saya hitung, itu bisa sekitar Rp5 triliun sampai Rp6 triliun. Tapi faktanya, pada 2018 hanya Rp1,4 triliun yang didapat. Artinya, banyak juga pemda yang tidak patuh.”

 

Keempat, adanya utang iuran yang gagal dikumpulkan. Pada 30 Juni lalu, ia menyebut, masih ada sekitar Rp3,4 triliun utang yang belum dibayar.

Kontribusi utang terbesar berasal dari peserta mandiri Kelas 2 dan 3 sebesar Rp2,4 triliun, perusahaan swasta Rp600 miliar dan sisanya sekitar Rp400 miliar disumbangkan oleh pemerintah daerah yang tidak membayar Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Menurutnya, pemerintah sebenarnya bisa memberikan sanksi kepada mereka yang menunggak bayar.

Kenapa BPJS Defisit_ 4 Hal Ini Diduga Jadi Pemicunya 02

[Baca Juga: Cara Pembayaran Iuran BPJS Kesehatan yang Harus Anda Tahu]

 

Bagi perusahaan swasta, misalnya, pemerintah daerah dapat memberikan sanksi dengan tidak menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan bila kantor tersebut berencana membangun pabrik baru atau menunda penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Sedangkan, bagi peserta mandiri, sanksi yang dapat diberikan yaitu dengan tidak memberikan pelayanan sebagaimana seharusnya.

Misalnya, ketika mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) atau perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), para pemegang premi pribadi diwajibkan menyelesaikan urusan BPJS Kesehatan yang masih menunggak terlebih dahulu.

Timboel menegaskan, berhasil atau tidaknya pelaksanaan sanksi tersebut tergantung dari pemerintah dan para stakeholder yang bertugas melaksanakan kebijakan ini.

Perlu dilakukan beberapa upaya mendukung keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Upaya tersebut antara lain berupa perbaikan sistem dan manajemen JKN, penguatan peranan pemerintah daerah, dan penyesuaian iuran peserta JKN.

 

Apa pendapat Anda terkait artikel di atas? berikan tanggapan Anda di kolom komentar di bawah ini.

Ayo jangan lupa share artikel ini kepada teman dan kerabat Anda. Semoga dapat menambah wawasan. Terima kasih.

 

Sumber Referensi:

  • Kompas. 2 Desember 2019. 4 Hal Ini Disinyalir Jadi Biang Keladi Defisit BPJS Kesehatan. Kompas.com – http://bit.ly/2qjIZrV

 

Sumber Gambar:

  • Kenapa BPJS Defisit 01 – http://bit.ly/2LkbP2y
  • Kenapa BPJS Defisit 02 – http://bit.ly/2RfSxPG