Bagaimana cara menghitung pajak penghasilan? Simak 5 studi kasus yang sering ditanyakan kepada petugas pajak terkait cara menghitung pajak di artikel Finansialku ini.
Selamat membaca!
Rubrik Finansialku
Studi Kasus Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Self assessment adalah salah satu revolusi dalam sistem perpajakan di Indonesia. Mengapa?
Karena wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tentunya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Intinya, untuk membalas kepercayaan tersebut maka setiap warga negara (khususnya yang sudah memiliki NPWP) dituntut untuk memiliki wawasan dan pengetahuan tentang cara Hitung, Setor, dan Lapor (HSL).
Dalam kesempatan kali ini, Saya akan sedikit membahas dan mengupas mengenai 5 (lima) pertanyaan yang sering ditanyakan terkait Pajak Penghasilan (PPh) di unit vertikal Direktorat Jenderal Pajak, seperti Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), KPP Madya, dan Kantor Wilayah (Kanwil).
Siapkan alat tulis terbaik sahabat Finansialku, dan mari kita mulai!
#1 Cara Menghitung PPh 21 Bagi Pegawai/Karyawan Tetap Negeri atau Swasta
Sebelum diulas, mari kita lihat skema Objek Pemotongan PPh Pasal 21/26 berikut:
Keterangan:
- SPDN = Subjek Pajak Dalam Negeri
- SPLN = Subjek Pajak Luar Negeri
Contoh Kasus:
Pertama
Fata adalah seorang pegawai negeri sipil dengan status menikah dan mempunyai tiga anak. Fata menerima gaji Rp8.000.000 per bulan. Membayar iuran pensiun sebesar Rp200.000 dan biaya jabatan 5% dari gaji pokok.
Perhitungan PPh 21-nya adalah sebagai berikut:
Kedua
Ternyata Fata mendapatkan kenaikan gaji di bulan Juli 2017 dan berlaku surut sejak 01 Januari 2017.
Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut, Fata menerima rapel sejumlah Rp12.000.000 (kekurangan gaji untuk masa Januari 2017 s.d. Juni 2017).
Berapakah PPh untuk uang rapel tersebut?
#2 Bagaimana Cara Menghitung PPh (Pajak Penghasilan) 21 Bagi Pekerja Bebas?
Secara sederhana, pola perhitungan PPh adalah sebagai berikut:
Dalam rangka mengetahui jumlah PPh terutang, Wajib Pajak Orang Pribadi perlu menghitung terlebih dahulu besarnya penghasilan neto atas penghasilan yang diterima/ diperoleh.
[Baca Juga: Lengkap! Mengenal Jenis-jenis Pajak di Indonesia Serta Penjelasannya]
Penghasilan Neto dari kegiatan usaha/pekerjaan bebas, dapat diperoleh dengan 2 (dua) cara, yaitu:
- Menyelenggarakan pembukuan; atau
- Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) atau norma (paling sering ditanyakan).
Jenis Pekerjaan Bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan dapat menggunakan NPPN (apabila peredaran usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak) adalah sebagai berikut:
- tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
- olahragawan;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek;
- perantara;
- petugas penjaja barang dagangan;
- agen asuransi; dan
- distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Adapun NPPN dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
- 10 (sepuluh) ibukota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
- Ibukota provinsi lainnya;
- Daerah lainnya.
Contoh kasus:
Novi adalah seorang dokter di Bandung yang membuka usaha praktik dokter (klinik kecantikan).
Dari pekerjaan bebas tersebut Novi memperoleh omzet dalam bulan Januari 2017 s.d. Desember 2017 adalah sebesar Rp1 miliar. Berapakah PPh terutang Novi apabila ia masih berstatus lajang?
Penyelesaian:
Berdasarkan tabel diatas:
No | Keterangan | Besaran (Rp) |
---|---|---|
1 | Penghasilan Neto dari jasa dokter (50% x Rp1.000.000.000) | 500.000.000 |
2 | PTKP setahun untuk diri Wajib Pajak sendiri | 54.000.000 |
3 | Penghasilan Kena Pajak | 446.000.000 |
4 | Pajak Penghasilan terutang | |
Lapisan 1: 5% x Rp50.000.000 | 2.500.000 | |
Lapisan 2: 15% x Rp200.000.000 | 30.000.000 | |
Lapisan 3: 25% x Rp196.000.000 | 49.000.000 | |
5 | Jumlah | 81.500.000 |
Maka untuk tahun 2017, Novi masih terutang/kurang bayar pajak sebesar Rp 81.500.000.
- Pada lapisan 2 dikurangi Rp 50.000.000 dikarenakan Rp 50.000.000 sudah dikalikan dengan tarif 5%.
- Pada lapisan 3 dikurangi Rp 50.000.000 dikarenakan Rp 50.000.000 sudah dikenakan dengan tarif 5%. Dan dikurangi Rp 200.000.000 karena sudah dikenakan tarif 15%.
Ebook GRATIS, Panduan Praktis INVESTASI REKSA DANA PERTAMA Kamu!
#3 Pemungutan PPh Pasal 22 dan Pemotongan PPh Pasal 23 Oleh Bendahara Pemerintah
Pemungutan PPh Pasal 22
Dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang, seperti: komputer, mebel, Alat Tulis Kantor (ATK) atau barang lainnya oleh bendahara pemerintah pusat/daerah, instansi atau lembaga pemerintah, atau lembaga negara lainnya kepada wajib pajak penjual barang.
Contoh kasus:
Abdul adalah bendahara SD Negeri Turangga, melakukan transaksi pembelian ATK tanggal 20 April 2018 senilai Rp1.100.000 dan sepuluh buku tulis seharga Rp1.500.000 dibeli secara tunai di Toko Buku Ciremai (harga tidak termasuk PPN). Penjual memiliki NPWP dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Berapakah PPh yang terutang?
Penyelesaian:
Atas pembelian ATK tersebut wajib dipungut PPh Pasal 22 karena total pembelian tersebut telah melebihi nilai Rp2.000.000.
Adapun PPh yang dipungut adalah:
Tarif x Total Pembelian = 1,5% x Rp2.600.000 = Rp39.000.
Kesimpulannya, Abdul cukup membayar Rp2.600.000 – Rp39.000 = Rp2.561.000.
Apabila Toko Ciremai memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22, maka tidak perlu dipungut pajaknya.
Sebaliknya, apabila tidak memiliki SKB maka bendaharawan harus memungut dan menyetorkan ke bank/kantor pos pada hari yang sama, serta menyerahkan bukti pembayarannya agar bisa dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Toko Ciremai.
[Baca Juga: TTS: Wajib Pajak Kenali Istilah Pajak Yuk Sebelum Lapor Pajak]
Pemotongan Pasal 23
Pemotongan Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh bendahara kepada pihak lain.
Penghasilan yang dibayarkan tersebut antara lain imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain.
Contoh kasus:
Sebanyak tujuh unit komputer di SD Negeri Turangga mengalami kerusakan. Abdul membawa komputer itu ke Toko Elektronik Anugrah untuk diperbaiki. Toko tersebut memiliki NPWP dan telah dikukuhkan sebagai PKP.
Biaya servis seluruh komputer adalah Rp5.000.000 (harga tidak termasuk PPN). Berapakah PPh yang harus dibayar?
Penyelesaian:
Atas jasa servis tersebut harus dipotong oleh Abdul sebesar 2% dari nilai jasa.
Perhitungannya: 2% x Rp5.000.000 = Rp100.000.
Kesimpulannya, Abdul cukup membayar Rp4.900.000.
Apabila Toko Elektronik Anugrah memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23, maka tidak perlu dipotong pajaknya.
Sebaliknya, apabila tidak memiliki SKB maka bendaharawan harus memotong dan menyetorkan ke bank/kantor pos pada hari yang sama, serta menyerahkan Bukti Pemotongannya, agar bisa dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Toko Elektronik Anugrah.
#4 Pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat 2 Untuk Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (dikenal dengan PPh Final 1% sesuai PP 46/2013)
Wajib pajak, baik badan maupun orang pribadi yang memiliki penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto/omzet dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar.
Penghasilan ini dikenakan pajak sebesar 1% bersifat final dari jumlah peredaran bruto setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha (cabang).
Contoh kasus:
Toni adalah seorang pengusaha muda di kota Cimahi. Ia memiliki dua bengkel servis motor yang berada di kota Bandung dan Cimahi.
Apabila ditotal, setiap bulan Toni mencatat peredaran bruto yang bervariasi/fluktuatif selama tahun 2018 sesuai tabel dibawah. Tahun 2017 omzet yang dilaporkan dalam SPT Tahunannya adalah Rp3,8 miliar.
Berapakah Toni harus membayar PPh-nya tahun 2018?
Penyelesaian:
Karena tahun 2017 omzet/peredaran bruto-nya kurang dari Rp4,8 miliar, maka tahun 2018 perhitungan pajak penghasilannya menggunakan formulasi sesuai PPh Final 1% sebagaimana tabel berikut:
REKAPITULASI PEREDARAN BRUTO SESUAI PPH FINAL PASAL 4 AYAT 2 TARIF 1% TAHUN 2018
No | Bulan/Toko | Dasar pengenaan Pajak (Rp) | PPh 1% (Rp) |
---|---|---|---|
1 | Januari | ||
Bengkel Bandung | 15.250.000 | 152.500 | |
Bengkel Cimahi | 12.760.000 | 127.600 | |
2 | Februari | ||
Bengkel Bandung | 10.500.000 | 105.000 | |
Bengkel Cimahi | 11.800.000 | 118.000 | |
3 | Maret | ||
Bengkel Bandung | 9.700.000 | 97.000 | |
Bengkel Cimahi | 17.340.000 | 173.400 | |
4 | Dst… | ||
s.d. Desember |
PPh Final 1 % ini memiliki “saudara kembar” yang tidak bisa diaplikasikan bersamaan, yaitu PPh Pasal 25/29. Apabila omzet tahun kemarin kurang dari Rp4,8 miliar, gunakan PPh Final 1%.
Dan apabila peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar, maka tahun pajak berikutnya wajib pajak dikenakan PPh Pasal 25/29 berdasarkan tarif umum pasal 17 Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
#5 Perhitungan PPh Final Terhadap Perolehan/Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
Perolehan/Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebenarnya sudah tidak asing kita dengar atau mungkin Anda pernah mengalaminya.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
- Pemindahan hak, karena:
- Jual beli;
- Tukar-menukar;
- Hibah;
- Hibah Wasiat;
- Waris;
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
- Penunjukan pembeli dalam lelang;
- Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Penggabungan usaha;
- Peleburan usaha;
- Pemekaran usaha;
- Pemberian hak baru, karena:
- Kelanjutan pelepasan hak;
- Di luar pelepasan hak.
[Baca Juga: DJP Pajak Online: Cara Mudah Lapor SPT Tahunan Pajak]
Adapun pertanyaan yang sering disampaikan adalah seputar perolehan dengan jual beli. Terkait proses jual beli tersebut terdapat dua pihak yang diwajibkan melengkapi dokumen agar proses legal formal bisa berjalan.
Dokumen yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) untuk pihak pembeli dan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 untuk pihak Penjual.
Mengapa penjual dikenai PPh? Jawabannya adalah karena penjual mendapat tambahan kemampuan ekonomis dari hasil penjualan yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan.
Contoh kasus:
Terjadi transaksi jual beli tanah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat antara Tuan Ramos selaku Penjual dengan Ibu Cinta selaku Pembeli tanggal 20 April 2018.
Adapun harga tanah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak ialah Rp500 juta. Apabila diketahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2017 adalah Rp350 juta, berapakah PPh yang harus dibayar?
Penyelesaian:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya, tarif yang digunakan adalah 2,5% dari nilai pengalihan.
Karena harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai pengalihan yang dijadikan patokan adalah nilai transaksi.
PPh yang harus dibayar Tuan Ramos adalah:
Nilai transaksi x Tarif = Rp500.000.000 x 2,5% = Rp12.500.000.
Dalam praktiknya, walaupun dalam bukti pembayaran PPh Finalnya tercantum nama penjual, namun pembayarannya menjadi tanggungan pembeli. Kecuali bila telah dibuatkan perjanjian pemisahan tanggung jawab pembayaran terlebih dahulu.
Terus Belajar
Demikian contoh-contoh kasus berikut penyelesaiannya yang sering ditanyakan wajib pajak terkait pajak penghasilan.
Sangat dimungkinkan bagi sahabat Finansialku mengalami kasus yang lebih rumit, namun ruang untuk kita belajar juga masih sangat luas.
“Ikatlah ilmu dengan menulis” adalah salah satu peribahasa yang memiliki kedalaman makna yang tidak bertepi. Dan untuk memahami seutuhnya cara menghitung pajak, kita memang harus mulai belajar “menulis”.
Semoga menginspirasi!
Berikan pendapat dan komentar Anda pada kolom di bawah ini, terima kasih!
Sumber Referensi:
- Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, 2011.
- Bendahara Mahir Pajak, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Peraturan Perpajakan II, 2016.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Sumber Gambar:
- Konsultasi Cara Menghitung Pajak Penghasilan – https://goo.gl/Hm237c
- Cara Menghitung Pajak Penghasilan – https://goo.gl/TvwVYm
Leave A Comment