Ketika pasar saham sedang berada di periode bearish, banyak investor yang berbondong-bondong membeli saham yang harganya rendah.

Namun, apakah keputusan tersebut tepat? Apakah penurunan harga saham tersebut dapat dijadikan opportunity?

Mari kita simak pemaparan dari value investor Indonesia, Rivan Kurniawan, lewat artikel berikut ini!

 

Artikel ini dipersembahkan oleh:

Logo Rivan Kurniawan

 

Harga Saham Turun, Patutkah Dijadikan Opportunity?

Periode bearish IHSG yang terjadi selama 3-4 bulan kemarin membuat sebagian besar harga saham mengalami penurunan, bahkan banyak yang penurunannya di atas penurunan IHSG itu sendiri.

Tak sedikit pula harga saham turun hingga ke posisi terendah dalam 5 tahun terakhir (the lowest in five years).

Fenomena ini membuka peluang bagi para investor untuk memperoleh saham di harga yang lebih murah. Namun, saya ingin memberi tahu Anda bahwa tidak semua saham yang harganya sedang turun dapat dijadikan opportunity.

 

[Baca Juga: Pilih Berinvestasi di Perusahaan Induk atau Perusahaan Spin-Off?]

 

Banyak saham yang turun karena memang sudah selayaknya dia turun, namun ada pula saham yang turun dan menjadikannya salah harga alias opportunity.

Demikian pula ketika saya mengadakan workshop, banyak peserta workshop yang bertanya:

“Bagaimana Pak Rivan bisa tahu bahwa harga sahamnya sudah murah? Bukankah dalam technical analysis kita tidak dianjurkan membeli saham yang sedang dalam trend turun karena harga saham yang sedang turun, bisa turun lebih dalam lagi?”

 

Well, apa yang disampaikan oleh salah satu peserta workshop tersebut tidak salah, saya juga awalnya sering “tertipu” mengambil saham yang posisinya sedang turun karena merasa harga tersebut sudah “bottom”, namun ternyata harganya masih terus turun.

Tapi seiring berjalannya waktu, saya mempelajari banyak hal dan inilah yang akan kita bahas pada artikel kali ini.

 

Don’t Catch The Falling Knife

Istilah ini mungkin sudah kerap Anda temui di artikel atau buku-buku lain yang membahas mengenai analisis teknikal.

Saya cukup setuju dengan statement ini, meskipun tidak sepenuhnya.

Apa yang membuat saya setuju? Saya setuju bahwa ketika harga saham turun signifikan menunjukkan bahwa sentimen jual jauh lebih besar dibandingkan dengan sentimen beli. Betul?

Dengan demikian, jika kita agak nekad menangkap “pisau jatuh” ini, bukannya menangkap pisau tersebut dengan baik, justru kita akan melukai tangan kita sendiri karena tangan kita yang akan berdarah.

Namun, poin yang tidak saya setujui adalah pernyataan ini dibuat hanya dengan melihat satu perspektif: Pergerakan harga saham beserta dengan volume analisis.

Menurut saya, pernyataan ini tidak dibuat dengan melihat perspektif lain, misalnya: Mengapa harga sahamnya turun sedemikian kuat?

Ada saham-saham yang turun sedemikian kuatnya karena memang ada perubahan fundamental perusahaan yang mempengaruhi penurunan harga sahamnya.

Misalkan, harga saham turun signifikan karena rilisnya laporan keuangan yang di bawah ekspektasi pasar. Perlu Anda pahami, tertundanya rilis laporan keuangan juga bisa membuat harga sahamnya turun signifikan.

Apakah Saat Ini Harga Saham Sudah Murah 2 Finansialku

[Baca Juga: Para Investor, Yuk Tengok Keuntungan Investasi Di Cash Rich Company!]

 

Atau faktor lain, misalnya adanya kebijakan pemerintah yang memberatkan seperti penetapan Harga Eceran Tertinggi (e.g beras), penetapan kebijakan DMO batu bara, pengetatan bahan baku (e.g impor jagung tahun 2017), yang membuat future earnings menjadi berpotensi menurun.

Jika harga saham turun signifikan karena hal tersebut, maka bisa jadi itu bukanlah opportunity.

Sebaliknya jika harga saham turun karena faktor panic selling, maka bisa jadi itu bukan opportunity.

Apa saja yang termasuk dalam faktor panic selling?

  1. Iklim IHSG sedang buruk.
  2. Investor asing jualan dalam jumlah besar.
  3. Sentimen negatif sesaat seperti berita miring tentang perusahaan/industri.
  4. Ataupun hal-hal lain yang tidak mempengaruhi dan tidak berhubungan dengan fundamental sebuah perusahaan.

 

Contoh kasusnya, sewaktu industri perbankan (BBCA, BMRI, BBNI, BBRI, dkk) diterpa sentimen negatif penurunan NIM Perbankan di tahun 2016, atau sentimen negatif moratorium yang melanda sektor konstruksi (WSKT, WIKA, dkk) di tahun 2017.

 

Never Timing The Market

Seperti yang telah disampaikan di awal, awalnya saya sering berusaha untuk melakukan market timing.

Saya juga beberapa kali masuk dalam jumlah sekaligus “lump sum” karena mencoba menebak bahwa harga saham tersebut sudah merupakan harga “bottom”.

Percayalah, we can never do that.

Oleh karena kita tidak akan pernah bisa melakukan market timing, maka kita bisa menyiasatinya dengan money management.

Daftar Aplikasi Finansialku

Download Aplikasi Finansialku di Google Play Store

 

Ketika mulai mengoleksi harga saham, alangkah baiknya jika Anda tidak masuk sekaligus dalam satu harga saja, melainkan dalam beberapa kali (dan tentunya juga dalam beberapa waktu ke depan).

Misalkan, ketika Anda yakin bahwa harga saham saat ini sudah cukup murah secara nilai (akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya), maka Anda boleh mulai mengakumulasi.

Namun, tidak ada yang bisa menjamin bahwa harga sahamnya akan segera naik, dan tidak ada jaminan pula bahwa harga saham yang Anda beli adalah harga “bottom”.

Ketika harga saham turun dari Rp1.000 ke Rp500, Anda mungkin berpikir:

“Harga saham sudah turun 50%, tidak mungkin bisa turun lebih dalam lagi.”

 

Tapi sayangnya, tidak ada yang bisa memprediksi itu. Tidak ada yang bisa menjamin bila harga sahamnya takkan turun lagi ke Rp400.

Jika Anda masuk sekaligus di harga Rp500 tadi, maka meskipun Anda sudah membeli harga saham yang sudah diskon 50% dari titik tertingginya, maka Anda akan tetap menanggung floating loss 20%.

Untuk mencegah Anda mengambil keputusan yang salah, pelajari dasar-dasar dan kiat investasi saham lewat ebook Finansialku. Download ebook Panduan Berinvestasi Saham Bagi Pemula sekarang juga, gratis!

Ebook Panduan Investasi Saham untuk Pemula Finansialku.jpg

 

Fokus pada Nilai Intrinsik

Jika dalam analisis teknikal, biasanya seorang trader memperhatikan harga saham saat ini dengan historical di masa lalu (di mana muncul analisis seperti Simple Moving Average, Bollinger Band, dll). Maka, seorang value investor akan fokus terhadap nilai instrinsiknya.

Mohon perhatikan poin ini: Penurunan harga saham tidak melulu artinya perusahaan sudah undervalue.

Analisis yang paling sederhana adalah dengan melihat valuasi P/E Ratio dan P/BV Ratio-nya.

Jika, katakanlah, ada sebuah saham yang turun 30% dari titik tertingginya, namun saat ini masih mencerminkan P/E Ratio 30x, atau P/BV 3x, maka jelas perusahaan tersebut belum dapat dikatakan undervalue.

Bisa jadi harga saham tersebut turun karena memang market menyadari bahwa selama ini harga saham tersebut memang dihargai terlalu mahal/overvalue karena optimisme pasar yang berlebihan.

Inilah yang terjadi pada booming saham property di tahun 2011-2012 lalu, di mana saham banyak saham emiten properti dihargai pada P/E 20 – 30x pada saat itu.

Demikian pula yang terjadi pada saham-saham perkebunan kelapa sawit di tahun 2013-2014 lalu.

Sebaliknya, pesimisme pasar yang berlebihan juga bisa membuat harga saham menjadi seolah-olah tidak berharga sama sekali.

Anda bisa melihat bagaimana saham-saham sektor batu bara di tahun 2015-2016 seperti tidak berharga sama sekali (INDY sempat dihargai di Rp100, HRUM dihargai di Rp900, ADRO dihargai di Rp450, dan PTBA dihargai di Rp850).

Sehingga membuat penurunan harga saham tersebut membuat P/E Ratio kemudian turun menjadi di <10,0, maka bisa jadi itu merupakan opportunity.

 

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Anda tidak bisa mengeneralisasi kondisi tiap-tiap emiten saham.

Ketika ada sebuah saham yang telah terdiskon cukup besar secara historical, kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu apakah penurunan harga saham tersebut dipengaruhi faktor fundamental atau tidak.

Jika penurunan harga saham diakibatkan perubahan pada faktor fundamental, maka penurunan harga saham tersebut belum tentu merupakan opportunity.

Iklan Banner Online Course Yuk Buat Sendiri Rencana Keuangan Anda - Finansialku 728 x 90

Iklan Banner Online Course Yuk Buat Sendiri Rencana Keuangan Anda - Finansialku 336 x 280

Demikian pula apabila penurunan harga saham tidak serta merta membuat valuasinya menjadi murah (valuasi sederhana dengan melihat P/E Ratio dan P/BV Ratio), maka penurunan harga saham juga belum tentu merupakan opportunity.

Sebaliknya, apabila penurunan harga saham tidak disertai dengan perubahan fundamental dan lebih disebabkan oleh faktor panic selling atau sentimen negatif sesaat saja, dan di sisi lain penurunan harga sahamnya membuat valuasinya menjadi lebih menarik, maka bisa penurunan harga saham tersebut merupakan potential opportunity.

Yang terpenting adalah fokus terhadap nilai instrinsiknya, bukan hanya terhadap historical harga sahamnya.

Jika penurunan harga saham kemudian memberikan margin of safety yang cukup besar bagi Anda, maka Anda bisa mulai mengoleksi saham tersebut. 

Dan poin penting yang tak boleh Anda abaikan adalah never timing the market. Mustahil untuk seseorang memprediksi pergerakan harga saham. Dan mungkin saja harga sahamnya masih akan turun beberapa saat ke depan.

Oleh karena itu, dibutuhkan pula money management yang baik dalam proses mengakumulasi jumlah lembar saham sesuai dengan target size yang Anda inginkan.

Semoga dengan artikel ini, Anda bisa lebih cermat dan membedakan mana penurunan harga saham yang merupakan opportunity dan mana penurunan harga saham yang bukan merupakan opportunity.

 

Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi Anda! Jika Anda memiliki pendapat tentang metode perhitungan yang telah dibahas di atas, silakan tuangkan ke dalam kolom komentar di bawah ini. Terima kasih!

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • Harga Saham Murah – https://goo.gl/rCJkvB
  • Harga Saham Murah 2 – https://goo.gl/aWd899