Investasi adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan bila Anda paham bagaimana cara menaklukan Pasar Modal.

Memang ilmu investasi tidak dapat dikuasai dalam semalam saja, butuh waktu yang tak sebentar dan pengalaman untuk menjadi investor handal.

Untuk itu, mari kita bersama-sama pelajari seluk beluk investasi dari sudut pandang seorang investor yang telah 10 tahun mencicipi asam garam dunia investasi, Rivan Kurniawan.

 

Artikel ini dipersembahkan oleh:

Logo Rivan Kurniawan

 

The Beauty of Investing

Selama libur Lebaran kemarin, saya mencoba untuk flashback ke masa-masa di tahun 2008-2009 ketika masa awal saya mulai berinvestasi di pasar saham.

Saya merefleksikan kembali perjalanan pribadi saya di pasar saham. Investing atau investasi di pasar saham telah menjadi bagian dalam kehidupan saya, dan saya begitu mencintai pekerjaan sebagai seorang investor di pasar saham ini.

Jika dibandingkan dengan usia saya saat ini, berarti kurang lebih saya sudah menjalani 1/3 waktu dari kehidupan saya untuk bergumul di Pasar Modal, dan masih akan terus bertambah ke depannya.

Waktu tersebut tidaklah sebentar. Bahkan, waktu tersebut lebih panjang dibandingkan dengan pekerjaan lain yang pernah saya jalani, baik sebagai profesional di perusahaan lain, maupun profesi lainnya yang pernah saya tekuni.

Kali ini, saya akan membagikan kepada Anda, apa yang disebut sebagai The Beauty of Investing. Sama seperti Andrea Pirlo atau Andres Iniesta yang mencerminkan The Beauty of Football, saya juga menggambarkan investing sebagai pekerjaan yang setengah bersifat science dan setengah bersifat art.

Seperti yang dikatakan oleh Warren Buffett:

You don’t need to be a rocket scientist. Investing is not a game where the guy with 160 IQ beats the guy with 130 IQ

 

#1 Investing adalah Hasil dari Perpaduan Otak Kiri dan Otak Kanan

Banyak investor yang berpendapat bahwa jika kita sudah mempelajari analisis fundamental ataupun analisis teknikal, maka kita mampu menaklukkan pasar.

Saya dulu mempercayai hal ini sampai saya sendiri menemukan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya benar.

Ketika dulu saya mengawali perjalanan di pasar saham sebagai seorang trader yang lebih mengedepankan analisis teknikal, saya percaya bahwa pattern-pattern (Golden Cross, Dead Cross, Bullish Reversal, dll) adalah mutlak kebenarannya.

Begitu pula ketika awal mempelajari analisis fundamental, saya percaya bahwa rasio seperti PER dan PBV adalah mutlak kebenarannya.

Namun seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa jika semua rasio atau pola yang terlihat mutlak kebenarannya, maka seharusnya semua orang sudah menjadi kaya-raya sekarang.

 

Fungsi Otak Kiri dan Otak Kanan

Otak Kiri: Logic, Otak Kanan: Intuition

 

Seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa investing tidak hanya mengenai otak kiri, melainkan juga otak kanan.

Jika kita hanya mengandalkan otak kiri, maka kita hanya akan terpacu pada rasio-rasio ataupun pola-pola teknikal tadi.

Menggunakan otak kiri untuk melihat rasio-rasio dan pola-pola memang penting, namun yang juga tidak kalah pentingnya adalah menggunakan otak kanan kita.

The Beauty of Investing 03 Finansialku

[Baca Juga: Bagaimana Peluang Investasi Perak di Tahun 2018? Apakah Menguntungkan?]

 

Misalkan, jika kita menggunakan otak kiri kita untuk proses menghitung rasio yang ada di laporan keuangan, maka kita juga perlu menggunakan otak kanan kita untuk merangkai setiap rasio yang ada di dalam sebuah laporan keuangan menjadi sebuah cerita.

Contoh lain, jika kita menggunakan otak kiri untuk menyerap berbagai informasi yang masuk ke otak kita, pada saat yang bersamaan, kita juga menggunakan otak kanan kita untuk proses menyaring informasi tersebut.

Demikian pula, kemampuan kita menggunakan otak kanan sangat penting untuk menahan emosi positif maupun emosi negatif yang seringkali membuat kita terombang-ambing di pasar saham.

 

#2 Investing Tidak Hanya Mengenai Hasil, Melainkan Proses

Seringkali saya melihat postingan di social media yang mengklaim bahwa saham-saham yang direkomendasikan berhasil naik puluhan sampai ratusan persen dalam waktu singkat hanya untuk mendapatkan pengikutnya. 

Please note this: Kecuali kita adalah seorang Warren Buffett, Jesse Livermore, atau Seth Klarman, jangan harap market akan peduli dengan apa yang kita pikirkan atau kita lakukan.

Naik atau turunnya saham bukan karena kita canggih dalam memprediksi pergerakan sebuah saham, melainkan karena market menghendaki demikian.

Memang, mengklaim apa yang diprediksikan benar sah-sah saja, tidak bisa disalahkan. Namun yang saya sayangkan adalah metode seperti itu justru membentuk mindset instant bagi para investor dan trader, terutama yang baru terjun di pasar saham.

To be honest, siapa yang tidak tergiur mendapatkan profit puluhan sampai ratusan persen dalam waktu singkat?

Mau Bebas Finansial Tiru 11 Kebiasaan ini Agar Kebebasan Finansial Terwujud Nyata! 02 Orang Kaya - Finansialku

[Baca Juga: 5+ Cara Mengenali Model Bisnis Untuk Investasi Saham yang Memimpin Pasar]

 

Profit memang penting, namun alangkah lebih baiknya apabila diikuti proses yang baik dan benar.

Kebanyakan orang berbicara mengenai potensi keuntungan yang diperoleh di pasar saham, bagaimana meraih profit yang sebesar-besarnya dan sesingkat-singkatnya di pasar saham?

Tapi adakah yang berbicara mengenai bagaimana meng-handle risiko di pasar saham? Adakah yang berbicara mengenai bagaimana mindset yang perlu dibentuk untuk menjadi seorang investor?

Saya mengenal cukup banyak orang yang kemudian memutuskan keluar dan menyerah dari pasar saham karena melakukan cut loss berkali-kali. Mengapa? Karena mereka hanya berorientasi pada hasil, dan bukan kepada prosesnya. Sehingga ketika hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan ekspektasi, mereka akan dengan mudahnya menyerah, dan berpikir “stock market is not for me.”

 

Investing is A Process

Jika kita bicara dalam sudut pandang entrepreneurship, seorang entrepreneur yang sukses tahu bahwa adalah tidak mungkin meraih keberhasilan tanpa melalui kegagalan. Justru kegagalan demi kegagalan tersebut yang menuntun si entrepreneur meraih keberhasilan.

Jika resep Kolonel Sanders tidak ditolak 1000 kali, mungkin kita tidak pernah mengenal yang namanya KFC.

Jika Jack Ma tidak ditolak ketika interview di KFC, mungkin ia tidak akan pernah mendirikan Alibaba.

Same thing, ketika berinvestasi di pasar saham, jika kita hanya berorientasi pada hasil maka kita akan mudah kecewa.

Yang tadinya dijanjikan profit puluhan atau ratusan persen, kok tidak menjadi kenyataan? Namun jika kita berorientasi pada proses, bukannya kecewa, kita akan terus menggali dan mencari proses yang lebih baik lagi.

 

#3 Investing Berkaitan Erat dengan Faktor Psikologis

Investing berkaitan erat dengan psikologis dan bukan hanya angka yang tertera dalam layar trading semata.

Jika dalam persamaan matematika, kita bisa menghitung bahwa 100 X 10 dan 10 X 100 akan sama-sama menghasilkan nilai 1.000. Namun jika kita berbicara dari sudut pandang investing, hasilnya bisa jadi tidak sama.

Pasalnya, dalam investasi saham, kita tidak bertemu dengan barang, melainkan bertemu dengan investor lainnya. Online trading atau platform yang kita gunakan hanyalah sebagai perantara.

Saya sering menemukan orang yang memaksakan diri dan menjadikan trading saham sebagai satu-satunya sumber pemasukan. Padahal, secara size mungkin belum cukup untuk meng-cover pengeluaran bulanan.

Misalkan, si A memiliki dana Rp50 juta hanya mengandalkan pemasukan dari trading saham untuk meng-cover pengeluaran bulanan yang juga Rp10 juta. Itu artinya, si A harus menghasilkan profit 20% setiap bulannya hanya untuk meng-cover pengeluaran bulanan, atau + 250% untuk meng-cover pengeluaran tahunan.

Coba bandingkan dengan si B, yang saat ini sama-sama memiliki Rp50 juta dan perlu meng-cover pengeluaran bulanan Rp10 juta. Namun bedanya, si B juga memiliki pemasukan lain (bekerja, bisnis, online shop, dll) sebagai penghasilan aktif.

Dari bisnis sampingannya ini, si B bisa menyisihkan Rp10 juta lagi untuk diinvestasikan kembali ke dalam portofolionya.

Seiring berjalannya waktu, portofolio si B bertumbuh menjadi Rp500 juta. Itu artinya, si B hanya perlu menghasilkan profit 2% setiap bulannya untuk meng-cover pengeluaran bulanan, atau + 25% untuk meng-cover pengeluaran tahunan. 

Menurut Anda, skenario yang lebih memungkinkan untuk dilakukan?

 

Semakin Besar Target, Semakin Berat Beban Psikologis

Saya tidak mengatakan bahwa kita perlu modal yang besar terlebih dahulu untuk mulai investasi saham. Tidak. Anda tetap dapat memulai investasi seawal mungkin.

Dan dalam pasar saham, memang mungkin saja profit 250% setahun mungkin saja untuk dicapai, namun pertanyaannya apakah itu bisa dilakukan setiap saat?

Dan bisa bayangkan beban yang Anda pikul dengan mengharapkan return 250% per tahun? Padahal kita tahu bahwa harga saham bergerak volatile dalam jangka pendek dan market tidak bisa juga bullish setiap saat.

 

Download Aplikasi Finansialku di Google Play Store

Jadi kembali pada sub judul di atas, meskipun Rp50 juta X 250% dan Rp500 juta X 25% sama-sama menghasilkan Rp125 juta, namun faktor psikologisnya jelas jauh berbeda. Mengharapkan return 250% setahun jelas memberikan beban 10x lipat lebih berat ketimbang mengharapkan return 25%, bukan?

Dalam berbagai workshop, saya sering mengatakan kepada peserta:

“Meskipun kita berprofesi sebagai investor di pasar saham dan sama-sama mengharapkan return di pasar saham, namun justru put your effort as little as possible is a good idea. Kita tidak perlu melihat pergerakan pasar saham harian. Ketimbang menghabiskan waktu melihat pergerakan saham harian, lebih baik kita sambil mencari pemasukan lain, untuk kemudian kita investasikan lagi ke saham yang sedang salah harga, dst. Jadi it’s a never-ending loop.” 

 

#4 Time is An Investor’s Best Friend

Sepanjang perjalanan di pasar saham sejauh ini, saya menyadari bahwa waktu adalah teman baik bagi seorang investor.

Saya juga percaya bahwa tidak ada yang namanya kesuksesan dalam semalam. Bahkan jika ada, hal tersebut tidak berkelanjutan. Sukses berasal dari disiplin, konsistensi, ketekunan, dan yang paling penting adalah kesabaran.

Seringkali seorang investor/trader menghabiskan waktu dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore hanya untuk memperhatikan pergerakan harga saham, dan berharap harga sahamnya akan segera naik begitu ia membelinya.

Well, saya ingin kembali mengingatkan agar jangan terpaku pada layar komputer Anda. Harga saham tidak akan bergerak hanya karena Anda menghabiskan waktu untuk memperhatikan pergerakan harga saham harian.

The Beauty of Investing 02 Finansialku

[Baca Juga: 4 Tips Agar Tetap Tenang Menghadapi Pasar Saham yang Bearish, Penasaran?]

 

Uang yang diinvestasikan dalam bisnis yang baik, dalam periode waktu yang cukup akan memberikan investor return di atas rata-rata.

Jadi tugas seorang investor adalah untuk menemukan bisnis yang baik, membelinya pada harga yang baik, dan memberikan kesempatan waktu yang cukup bagi bekerjanya investasi kita.

Berinvestasilah untuk jangka panjang, dan biarkan keajaiban compounding interest bekerja menghasilkan uang untuk Anda.

Waktu juga menjadi teman baik bagi seorang investor. Ketika pasar berada dalam periode bearish, kebanyakan orang akan panik, menjual kepemilikan mereka, dan khawatir kerugian mereka akan meningkat jika mereka tidak bertindak secara cepat.

Hal ini terdengar sangat logis, karena tanpa disadari, kita telah didoktrin untuk lari secepatnya ketika sebuah ancaman muncul.

Kejatuhan pasar saham adalah bencana bagi investor rata-rata, tetapi merupakan peluang atau opportunity bagi seorang investor yang memiliki kesabaran.

Untuk memahami bahwa waktu adalah teman baik bagi seorang investor/trader, Anda perlu memiliki mindset yang benar pula.

Jika Anda mencari definisi kata saham di Kamus Besar Bahasa Indonesia, saham adalah surat berharga yang menunjukkan sebagian kepemilikan kita atas suatu perusahaan. Dengan membeli saham artinya Anda memiliki hak atas kepemilikan sebuah perusahaan.

Dengan demikian, cara berpikir kita seharusnya tidak berbeda dengan pemilik perusahaan. Seperti Nadiem Makariem yang mendirikan Gojek, Mark Zuckerberg yang mendirikan Facebook, Buffett yang memiliki Berkshire, Jeff Bezos yang mendirikan Amazon, Bill Gates yang mendirikan Microsoft, atau Steve Jobs yang mendirikan Apple.

Namun demikian, pembentukan harga di bursa saham serta arus informasi yang demikian cepat dapat dengan mudah menjadikan orang-orang menganggap pasar modal adalah meja judi.  

Coba Anda bayangkan dalam kehidupan bisnis yang nyata, jika Anda memiliki perusahaan yang baik dan berkembang, bukankah Anda ingin terus menjadi pemilik dari perusahaan itu, dan tidak ingin melepaskannya?

Sebagai pemilik perusahaan, Anda tahu bahwa membutuhkan waktu agar perusahaan bisa berkembang, dan seharusnya Anda tahu bahwa membutuhkan waktu agar harga sahamnya meningkat.

 

#5 Investor Retail Memiliki Privilege Ketimbang Investor Institusi

Seringkali sebagai seorang investor retail, kita terlalu berkecil hati. Saya juga sering mendengar bahwa investor institusi (seperti hedge fund dan asset management) mendapatkan profit yang jauh lebih besar.

Benarkah demikian?

Well, saya salah satu yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut saya, investor retail memiliki begitu banyak kelebihan.

 

Iklan Perencanaaan Hari Tua - 728x90

Download Aplikasi Finansialku di Google Play Store

Salah satu privilege yang dimiliki oleh seorang investor retail adalah bisa masuk ke saham-saham tertentu termasuk saham kategori second liner, di mana seringkali value opportunity justru muncul dari saham-saham second liner.

Sedangkan, investor institusi memiliki serangkaian aturan yang ketat seperti misalkan batas minimum Market Cap, atau batas minimum rata-rata volume transaksi per hari, dsb.

Bahkan ada beberapa investor institusi yang hanya diperbolehkan melakukan transaksi yang masuk di dalam sebuah indeks (misalkan indeks LQ45 ataupun indeks MSCI). Jika melakukan transaksi di luar indeks tersebut, maka keputusannya akan dipertanyakan.

Privilege lainnya yang dimiliki oleh seorang investor retail adalah bisa mengatur kapan saat yang tepat untuk full posisi di saham dan kapan saat yang tepat untuk memegang cash.

Investor institusi mungkin tidak mendapatkan privilege seperti ini, di mana menyimpan dana dalam bentuk cash sama dengan tidak bekerja.

Padahal, menyimpan dana dalam bentuk cash terkadang adalah strategi yang terbaik di saat tersebut, misalkan ketika indeks sedang tinggi-tingginya dan harga saham rata-rata berada pada area overvalued dan tidak menawarkan opportunity yang menarik.

Persiapkan Tabungan Pensiun Anda Untuk Tetap Sejahtera Di Hari Tua 02

 

[Baca Juga: Mitos di Pasar Modal, Perlukah Kita Percayai?]

 

Bagaimana kalau market tidak menawarkan opportunity yang menarik? Kita bebas untuk tidak melakukan apapun. Dalam bursa saham, tidak ada yang mengharuskan kita agar terus-menerus aktif melakukan transaksi setiap harinya. 

Pada saat pasar saham tidak menawarkan harga yang menarik, maka seorang investor retail bisa memegang uangnya dalam bentuk cash dan menunggu saat market menawarkan opportunity yang lebih menarik.

Dan privilege yang paling mewah bagi seorang investor retail adalah investor retail tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan hasil investasinya kepada siapapun.

Sebaliknya, investor institusi memiliki kewajiban untuk melaporkan hasil investasi kepada orang-orang yang mempercayakan dana investasi kepadanya untuk dikelola, biasanya per bulan.

Jika dalam waktu beberapa bulan hasil investasinya belum menunjukkan hasil, maka client biasanya akan mulai mempertanyakan mengapa dana investasinya tidak bertumbuh.

Padahal, kita tahu bahwa saham-saham yang “salah harga” terkadang membutuhkan waktu yang cukup panjang sampai market menyadari bahwa saham tersebut salah harga. Tekanan semacam ini tidak perlu dirasakan oleh investor retail.

 

#6 Investing is Not About Competition. It’s About Controlling Yourself in Your Own Game

Ini adalah The Beauty of Investing yang paling saya sukai:

“Tidak ada kompetisi di dalam investasi.”

 

Jika kita mendirikan sebuah bisnis, maka kita tidak hanya berhadapan dengan pelanggan, melainkan juga berhadapan dengan kompetitor, apalagi jika bisnis tersebut tidak memiliki economic moat yang tinggi.

Masih ingat ketika bisnis Bubble Tea mulai booming? Mungkin dulu kita hanya mengenal Quickly dan Hop-Hop, namun saat ini sudah ada merk-merk lain seperti ShareTea, Calais, Chatime, Come Buy, Coco, Gong Cha, KOI, Fat Bubble, dan merk lokal lainnya.

Demikian pula ketika bisnis Thai Tea mulai booming, kalau saya tidak salah, awalnya hanya ada satu, Dum Dum. Namun seiring dengan booming-nya bisnis ini, mulai muncul kompetitor lain seperti Think Thai, Chapayom, Tuk Tuk Cha, Chang Tea, Sa Wa Dee Cup, Naam Thai, dll. Dan masih banyak contoh lainnya (misalnya bisnis power bank, bisnis Indomie konsep modern, dll.)

Dalam berinvestasi, kita bisa meraih uang tanpa perlu mengenal kompetisi. Jika ada 1000 orang memegang saham BBRI di harga 3000, dan kemudian harga sahamnya bergerak naik ke 3500, maka 1000 orang tersebut masing-masing akan mendapatkan profit sesuai dengan jumlah lot yang dimilikinya masing-masing.

Lalu bagaimana dengan orang yang baru membeli BBRI di harga 3500? Sama saja, jika harga saham BBRI kemudian naik lagi ke 4000, maka orang yang membeli BBRI di harga 3500 juga akan mendapatkan profit sesuai dengan jumlah lot yang dimilikinya.

Hanya saja, kita sendiri yang seringkali menganggap rumput tetangga lebih hijau.

Misalkan saham yang kita pegang ternyata harganya belum naik, sementara saham yang dipegang teman kita sudah naik, kita beranggapan bahwa kita kalah dan teman kita menang.

Apakah benar demikian?

Jika Anda baca lagi sub judul di atas, “Investing is Not About Competition. It’s About Controlling Yourself in Your Own Game” maka sebenarnya tidak relevan jika Anda membandingkan pencapaian investasi Anda dengan teman Anda tadi.

Anda sedang berada di dalam arena pertandingan Anda sendiri. Siapa lawannya? Diri Anda sendiri.

Jika kita mampu mengontrol fear dan greed, maka sejatinya Anda akan memenangkan pertandingan yang sedang Anda jalani.

 

Kesimpulan

Dalam berinvestasi, Anda berkompetisi dengan diri sendiri. Faktor psikologis seperti rasa takut, serakah, terlalu bangga dengan pencapaian yang temporary, terkadang bisa menyebabkan kegagalan.

Selain faktor dari dalam diri sendiri, ada juga faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi return yang kita dapatkan. Misalnya kondisi pasar dan juga waktu.

Untuk itu, sebagai seorang investor yang cerdas, kita perlu terus menambah ilmu tentang investing. Untuk apa? Supaya kita bisa melatih kepekaan otak kiri dan otak kanan dan bisa mengambil keputusan yang tidak merugikan diri sendiri.

Ada banyak cara untuk menambah pemahaman dan ilmu Anda tentang investasi, misalnya membaca buku, mengikuti seminar, dll. 

Anda juga bisa membaca ebook panduan investasi saham dari Finansialku. Ebook ini dapat menjadi tuntunan bagi Anda para investor pemula untuk memahami seluk beluk tentang investasi saham dan pasar modal.

Download ebook-nya sekarang juga! Gratis!

Free Download Ebook Panduan Investasi Saham Untuk Pemula

Ebook Panduan Investasi Saham untuk Pemula Finansialku.jpg

 

Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi Anda. Jika Anda memiliki pertanyaan, silakan tuangkan dalam kolom komentar di bawah ini. Terima kasih!

 

Sumber Referensi:

 

Sumber Gambar:

  • Investasi – https://goo.gl/a9trXS
  • Waktu – https://goo.gl/CxJZFQ