Financial technology (fintech) merupakan sebuah bisnis yang memiliki prospek menjanjikan. Keberadaannya saat ini tengah digandrungi oleh banyak konglomerat di Indonesia.

 

Rubrik Finansialku

Rubrik Finansialku Start It Up
 

Fintech Sebagai Penyedia Jasa Keuangan Selain Bank

Sudah bukan satu hal yang asing ketika orang melakukan kegiatan perbankan melalui smartphone-nya.

Saat ini smartphone tak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tapi lebih luas lagi sebagai instrumen transaksi.

Smartphone menjadi faktor pendukung nomor satu pertumbuhan dan perkembangan perusahaan fintech di seluruh dunia, fintech berperan sebagai alternatif penyedia jasa keuangan selain bank.

Manfaat dan kegunaan fintech yang semakin berkembang, membuat bisnis ini akan menjadi “rebutan” banyak orang. Termasuk mereka para konglomerat.

Faktanya, fintech bisa menjangkau lebih luas tanpa sekat-sekat dibandingkan perbankan terutama dalam konteks fintech bidang pinjam-meminjam uang.

Di luar itu, fintech memiliki cukup banyak ragam. Paling populer di bidang penyediaan layanan uang elektronik, baik dalam bentuk e-wallet maupun e-money.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 menyatakan bahwa e-wallet merupakan layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran.

Pada umumnya mereka para pemain fintech adalah perusahaan perusahaan rintisan (startup).

Kendati demikian, para konglomerat pun tak mau ketinggalan di bisnis ini. Mereka mulai membuat produk sendiri, mendirikan startup yang didukung penuh kekuatan modal mereka, akuisisi dan sebagainya.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-01-Finansialku

[Baca Juga: Fintech Space: Co-Working Space Pertama Hasil Kolaborasi Aftech dan UnionSpace]

 

Djarum Group misalnya, konglomerasi yang dimiliki oleh Hartono bersaudara yang memiliki kekayaan US$32,3 miliar atau setara dengan 426 triliun rupiah ini, melalui firma penanam modal startup GDP Venture, memiliki produk fintech dengan nama Kaspay.

Kaspay merupakan sistem pembayaran online yang dibuat oleh PT Darta Media Indonesia, bagian dari GDP Venture.

Layanan ini sekilas menyerupai Paypal, salah satu pelopor di dunia fintech.

Kaspay, hingga saat ini belum tersedia dalam bentuk aplikasi smartphone. Namun, ia dapat diakses melalui beberapa layanan pesan instan seperti Telegram, Line, Facebook Messenger, dan aplikasi pesan instan turunan Kaskus, yaitu Kaskus Chat yang berada di bawah grup yang sama.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-02-Kaspay-Finansialku

[Baca Juga: Definisi Fintech Adalah]

 

Selain melalui GDP Venture, Djarum Group pun memasuki dunia fintech melalui Bank BCA.

Masuknya Djarum Group ke dunia fintech melalui Bank BCA memang tak mengherankan. Saat ini, 54,94 persen saham bank BCA dikuasai PT Dwimuria Investama Andalan, perusahaan yang dimiliki Hartono bersaudara.

Melalui BCA, Djarum punya produk fintech bernama Sakuku, suatu layanan e-wallet yang dapat digunakan menyimpan uang hingga Rp10 juta.

Sakuku kali pertama diluncurkan pada September 2015 lalu dan tersedia di Android maupun iPhone.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-03-Sakuku-Finansialku

[Baca Juga: Bank vs Fintech P2P Lending: Pesaing atau Pelengkap Inklusi Keuangan?]

 

Bank BCA diperkirakan semakin agresif masuk ke ranah fintech.

Pada Januari 2017 Bank BCA meluncurkan application programming interface (API) untuk menghubungkan sistem perbankan miliknya dengan dunia e-commerce.

Selain itu, BCA diketahui mendirikan Central Capital Venture, firma penanaman modal startup, dengan modal US$15 juta atau setara dengan Rp199,8 miliar.

 

Semua Tergiur Dengan Fintech

Selain Djarum Group, Lippo Group pun ikut mencoba terjun ke bisnis fintech. Konglomerasi yang digawangi oleh Mochtar Riady ini mengandalkan Ovo, layanan e-wallet yang berada di bawah bendera PT Visionet Internasional.

Selain memberikan layanan fintech melalui aplikasinya sendiri, Ovo diketahui bekerja sama dengan Grab menghadirkan layanan e-wallet dengan nama GrabPay.

Langkah ini dilakukan Grab lantaran GrabPay tak kunjung memperoleh izin dari otoritas di Indonesia.

Sementara Ovo, merujuk daftar yang dikeluarkan Bank Indonesia, merupakan satu dari 27 perusahaan pemilik izin e-wallet.

Selain bekerja sama dengan Grab, Ovo punya keunggulan lain. Ini terutama terkait dengan anak-anak usaha Lippo Group.

Dengan menggunakan layanan Ovo, pengguna dapat memperoleh harga khusus bila memanfaatkan fasilitas layanan seperti pembayaran di Maxx Coffee, Foodmart, Siloam Hospital, First Media, Cinemaxx, ataupun anak usaha Lippo lainnya.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-04-Ovo-Finansialku

[Baca Juga: Perkembangan Fintech (Financial Technology), Dari Diawasi Hingga Inovasi]

 

Selain Ovo, sepak terjang Lippo Group di dunia fintech semakin serius dengan menggelontorkan modal awal pada Call Level, sebuah startup fintech asal Singapura.

Call Level merupakan fintech dengan tujuan utama sebagai aplikasi pelacak pasar keuangan berbasis kecerdasan buatan. Selain melalui Call Level, Lippo punya Venturra Capital, sebuah firma penanam modal startup.

Venturra Capital terbilang agresif. Pada Desember 2015 lalu mereka memberikan pendanaan sebesar US$13,8 juta atau setara dengan Rp183,8 miliar pada BitX yang kemudian mengganti nama menjadi Luno.

Luno merupakan layanan dompet Bitcoin, yang digunakan sebagai media transaksi menggunakan uang kripto yang saat ini sedang naik daun.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-05-Luno-Finansialku

[Baca juga: 3 Cara Mendapatkan Bitcoin yang Bisa Dicoba]

 

Konglomerasi lain yang tengah memasuki dunia fintech ialah Salim Group. Grup bisnis yang dikendalikan Anthony Salim ini punya layanan fintech bernama i.Saku.

i.Saku meluncur di bawah naungan PT Inti Dunia Sukses, perusahaan yang berada di bawah Indoritel, sub-usaha Salim Group yang mengurusi bisnis toko modern mereka seperti Indomaret.

Selain melalui i.Saku, Salim Group memasuki dunia fintech dengan bekerja sama dengan Liquid Inc, perusahaan asal Jepang.

Rencananya, kerja sama ini akan menghasilkan layanan pembayaran berbasis sidik jari atau fingerprint payment.

Grup besar lainnya yang mengincar manisnya fintech yaitu Emtek Group. Konglomerasi yang menaungi Indosiar dan SCTV milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja ini pada Mei 2017 sukses mengakuisisi Doku, salah satu layanan e-wallet yang paling awal hadir di Indonesia.

Doku didirikan oleh PT Nusa Satu Inti Artha pada 2007 lalu. Di toko aplikasi Google, aplikasi Doku sudah diunduh dalam rentang antara 500 ribu hingga 1 juta kali.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-06-Doku-Finansialku

[Baca Juga: OJK Akan Gelar Fintech Days Di Makassar]

 

Selain melalui Doku, kiprah Emtek di dunia fintech dilakukan melalui Espay. Espay merupakan layanan payment gateway yang didirikan oleh PT Pembayaran Lintas Usaha Sukses.

Payment gateway ini umumnya dimanfaatkan berbagai layanan e-commerce mempermudah sistem pembayaran.

Posisi Espay yang ada dalam genggaman Emtek jadi suatu yang tak mengherankan. Ini karena mereka memiliki Bukalapak, salah satu e-commerce terbesar di Indonesia.

Sinar Mas Group, grup raksasa milik Eka Tjipta Widjaja ini melalui Bank Sinarmas mampu melahirkan Simobi, aplikasi e-wallet.

Sinar Mas juga bekerjasama dengan PT Mitrausaha Indonesia mengembangkan Modalku, sebuah aplikasi peer-to-peer lending.

Startup-Fintech-Digandrungi-Konglomerat-07-Simobi-Finansialku

[Baca Juga: Bagaimana Peran Fintech Indonesia Bisa Mengubah Bisnis dan Konsumen Anda?]

 

Sinar Mas bersama PT. Pasar Dana Pinjaman mendukung Danamas, sebagai aplikasi yang juga peer-to-peer lending atau platform pinjam meminjam uang secara online.

Masuknya sejumlah konglomerasi ke dunia fintech memang tak mengherankan. Sektor fintech di bidang sistem alat pembayaran saja diprediksi akan menghasilkan pendapatan hingga US$2,3 triliun atau setara dengan Rp30.638 triliun per tahun di dunia.

Menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang memang dari awal merintis perusahaan fintech-nya.

Atau bahkan bisa menjadi peluang ketika fintech mereka dilirik dan kemudian didanai oleh para konglongmerat ini.

Kendati demikian, perjalanan bisnis fintech para raksasa ini tidak serta merta tanpa halangan, mereka harus bersaing dengan 200 bahkan lebih fintech di Indonesia. Persaingan yang tak namun begitu menjanjikan.

Upaya konglomerasi ini memacu para pebisnis fintech, setidaknya untuk menjadi perusahaan merger atau akuisisi dari para konglomerat. Dan tentunya meningkatkan persaingan pasar startup fintech di Indonesia.

 

Apakah Anda sudah mencoba salah satu dari aplikasi fintech milik konglomerat Indonesia? Apa pandangan dan pendapat Anda tentang fenomena perkembangan startup fintech di Indonesia?

 

Sumber Referensi:

  • Ahmad Zaenudin. 18 Januari 2018. Para Konglomerat Indonesia Antre Terjun di Bisnis Fintech. Tirto.id – https://goo.gl/soh3UR

 

Sumber Gambar:

  • Konglomerat – https://goo.gl/pvaqn3, https://goo.gl/DgnvTf, https://goo.gl/wJmE8P
  • E-wallet – https://goo.gl/P47ErC
  • Kaspay – https://goo.gl/UDQkZK
  • Sakuku – https://goo.gl/R9LvYU
  • Ovo – https://goo.gl/vMNLDu
  • Luno – https://goo.gl/rVmbNr
  • Doku – https://goo.gl/JVdres
  • Simobi – https://goo.gl/ieNWtQ

 

Free Download Ebook Panduan Investasi Saham Untuk Pemula

Ebook Panduan Investasi Saham untuk Pemula Finansialku.jpg