Sobat Finansialku, faktor psikologis mempengaruhi pengambilan keputusanmu lho, termasuk keputusan dalam berinvestasi!

Simak artikel ini agar paham bagaimana membuat keputusan investasi dengan lebih rasional.

 

Faktor Psikologis dan Decision-Making, Apakah Berhubungan?

Sobat Finansialku, masih ingat market crash pada Maret 2020 lalu?

Seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19 di dunia dan di Indonesia, penutupan border beberapa negara, kebijakan-kebijakan para petinggi negara untuk mengurangi aktivitas ekonomi secara signifikan, dan segala kepanikannya berdampak pada ketidakpastian ekonomi yang berujung pada market crash

Sama halnya dengan pasar modal di negara-negara lain, IHSG juga mengalami penurunan yang signifikan.

Bahkan, IHSG sempat mengalami beberapa kali trading halt atau penghentian perdagangan karena indeksnya turun 5%, sebelum mencapai titik terendahnya pada 24 Maret 2020 di level 3.937 serta turun 37,49% dibandingkan akhir 2019.

Level ini merupakan titik terendah IHSG sejak Juni 2012.

Di tengah ketidakpastian tersebut, banyak di antara kita yang panik, ketar-ketir cemas dengan penurunan harga saham yang terjadi.

Tidak sedikit pula Sobat Finansialku yang terdorong kecemasan akan ketidakpastian dan kepanikan melihat orang berbondong-bondong menjual saham hingga ikut-ikutan menjual kepemilikan sahamnya, meskipun semula berniat investasi jangka panjang pada saham tersebut.

Apakah Sobat Finansialku juga sempat mengalami hal serupa?

Jika ya, berarti Sobat Finansialku sudah merasakan contoh nyata faktor psikologis yang turut andil dalam proses pengambilan keputusanmu. Bukan tidak mungkin jika dipikir-pikir kembali keputusan tersebut sekarang terlihat irasional. 

Namun tidak usah disesali, mari kita pelajari lebih lanjut untuk meminimalkan pengaruh faktor psikologis terhadap keputusan investasimu di masa mendatang.

 

Apa itu Behavioral Finance

Sobat Finansialku, pemaparan sebelumnya merupakan contoh dari behavioral finance. Pernah dengar behavioral finance?

Behavioral finance atau perilaku keuangan adalah studi yang mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi perilaku/keputusan keuangan. 

Dengan mengakui adanya dampak psikologi, studi ini menggarisbawahi bahwa investor tidak selalu rasional, investor tidak selalu memiliki kontrol diri, dan investor sering kali membuat keputusan yang salah karena bias kognitif (cognitive bias) dan bias emosi (emotional bias). 

Bias emosi adalah penyimpangan, prasangka, atau kecenderungan berpikir berat sebelah/tidak objektif yang dilandasi oleh perasaan dan spontanitas.

Sementara, bias kognitif adalah penyimpangan, prasangka, atau kecenderungan berpikir berat sebelah/tidak objektif yang dilandasi oleh kesalahan memproses informasi, asumsi umum yang belum tentu akurat, dan kesalahpahaman.

Kenali Behavioral Finance yang Bisa Kacaukan Investasimu 1

Ilustrasi Saat Menerima Berita Tentang Saham yang Dimiliki. Sumber: Envato

 

Macam-macam Bias yang Mempengaruhi Keputusan Investasi

Ada banyak sekali ragam bias kognitif dan bias emosi. Berikut yang umum didapati pada investor.

 

Overconfidence Bias

Tergolong dalam emotional bias, overconfidence bias adalah kondisi yang terjadi saat seorang investor percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan/skill investasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan investor lainnya. 

Hal ini didukung oleh penelitian James Montier, penulis buku investasi “The Little Book of Behavioral Investing”, yang mengadakan survei kepada 300 Manajer Investasi (MI) mengenai kemampuan masing-masing dalam berinvestasi.

Dalam surveinya, 74% responden mengaku memiliki kemampuan berinvestasi di atas rata-rata, dan 26% lainnya menilai memiliki kemampuan berinvestasi rata-rata.

Secara statistik, tentunya hal ini tidak mungkin. Survei tersebut menunjukkan adanya overestimasi pada kemampuan diri, baik pada responden dengan kemampuan di atas rata-rata maupun responden dengan kemampuan rata-rata.

Overconfidence bias patut diwaspadai oleh investor karena dapat membuat Sobat Finansialku lengah dalam menilai risiko suatu investasi.

[Baca Juga: Menimbang Keuntungan Dan Risiko Investasi Yang Sesuai Dengan Diri Anda]

Pasalnya, overconfidence bias cenderung mengecilkan risiko yang ada sebab sang investor merasa telah mengetahui seluruh informasi dan memiliki kontrol penuh atas investasinya. 

 

Loss-aversion Bias

Sobat Finansialku, pernah nggak mengalami floating loss saat berinvestasi tapi kita berlama-lama dan merasa enggan menjualnya karena terus berpegang pada harapan bahwa investasi tersebut suatu hari akan berbalik arah. 

Kamu nggak sendirian kok, karena keengganan teman-teman dalam mengaktualisasikan kerugian adalah wujud nyata dari loss-aversion bias.

Studi menunjukkan bahwa investor merasakan sakit (pain) 2 – 2,5 kali lipat lebih besar saat merugi dibandingkan merasakan kegembiraan saat menghasilkan keuntungan pada nominal yang sama.

Padahal kalau dipikir-pikir nih, sebenarnya jika investasi tersebut dijual dan diinvestasikan kembali ke produk investasi yang lebih berkualitas, Sobat Finansialku sudah mengambil 2 langkah keuangan yaitu menghentikan risiko semakin merugi dan mengaktifkan uang tersebut agar kembali produktif menghasilkan return.

Jadi, pilih terus berharap atau menganalisis ulang lalu mengambil keputusan nih?

Oya, loss aversion bias juga terjadi pada kondisi untung lho.

Maksudnya, saat investasi sedang berpotensi untung, kita langsung terdorong untuk secepat-cepatnya mengaktualisasikan cuan yang tidak seberapa meski secara analisis investasi tersebut masih berpotensi menghasilkan profit yang lebih tinggi.

 

Herding Bias

Masih ingat contoh kasus di awal dimana kita terdorong untuk menjual saham setelah mendengar orang berbondong-bondong menjual saham tersebut?

Yes, kasus tersebut adalah contoh herding bias dimana kita sebagai investor membuat keputusan finansial berdasarkan pengaruh orang lain atau pengaruh trend.

Herding bias termasuk ke dalam kategori bias emosi karena lebih mengandalkan intuisi dan perasaan

Herding bias juga yang berlaku saat Sobat Finansialku ikut-ikutan FOMO membeli suatu saham atau produk investasi karena melihat orang-orang di sekelilingmu membeli saham atau produk investasi tersebut.

Memang, perasaan tenang atau percaya diri setelah mengikuti kawanan (herd) sering kali mengaburkan analisis kita.

Celakanya herding bias sering kali berujung pada kerugian investor yang mengambil keputusan tanpa melakukan analisis secara independen.

[Baca Juga: Tips Membeli Saham yang Benar, Cocok Untuk Pemula]

 

Anchoring Bias

Anchoring bias terjadi saat Sobat Finansialku membuat keputusan hanya berdasarkan informasi pertama yang didapatkan. Dalam kehidupan sehari-hari anchoring bias seringkali terjadi tanpa kita sadari.

Contoh mudahnya yaitu saat teman-teman berbelanja. Misal, saat masuk ke sebuah toko teman-teman melihat sepatu A seharga Rp 5 juta, kemudian teman-teman melihat sepatu B seharga Rp 1,5 juta. 

Terlepas dari fakta kedua sepatu tersebut dibanderol relatif mahal, teman-teman cenderung menilai bahwa sepatu B murah.

Padahal jika saat masuk ke toko tersebut yang teman-teman lihat adalah sepatu B duluan, besar kemungkinan teman-teman tidak merasa sepatu tersebut murah. 

Jadi, sama-sama sepatu B yang seharga Rp 1,5 juta, tapi… judgement-nya kok beda ya!? Itulah efek achoring bias.

 

Dalam investasi, anchoring bias pun kerap terjadi. Contohnya, Sobat Finansialku memutuskan untuk membeli suatu saham hanya berdasarkan perbandingan harga saham tersebut di hari ini dan di suatu waktu. 

Atau contoh lainnya, saat Sobat Finansialku memutuskan untuk menjual suatu saham hanya berpatokan pada harga beli awal.

Keduanya hanya mengandalkan informasi yang sudah ada (harga saham di suatu waktu dan harga beli awal), padahal belum tentu harga-harga tersebut mencerminkan mahal atau murahnya saham tersebut.

Untuk mengetahui mahal murahnya sebuah saham, bisa kita lakukan analisis fundamental, di mana valuasi saham ditentukan berdasarkan nilai intrinsiknya.

Investasi menggunakan analisis ini disebut value investing.

Nah, kalau Sobat Finansialku ingin tahu dan ingin mempraktikkan value investing ini, kamu bisa join webinar saham Finansialku yang dipandu langsung oleh pakar Value Investing, Rivan Kurniawan, dan Melvin Mumpuni, CFP®, CEO dan Founder Finansialku.com.

Nantinya, sobat Finansialku juga akan dipertemukan dengan investor-investor saham lainnya dalam komunitas saham Finansilku agar bisa bertukar pikiran sehingga bisa meminimalkan bias yang mungkin terjadi.

 

Representative Bias

Bias lain yang sering terjadi pada investor adalah representative bias, yaitu kondisi dimana seorang investor meyakini bahwa kinerja sebuah perusahaan secara historikal merepresentasikan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan di masa yang akan datang.

Memang betul, dalam menganalisis suatu produk investasi kita melihat performa produk tersebut secara historikal.

Namun, analisa performa historikal saja tidaklah cukup. Sebab bagaimana pun juga terdapat berbagai faktor eksternal dan variabel yang tidak dapat dikontrol perusahaan/penyedia produk investasi.

Nah yang menjerumuskan dari representative bias adalah prasangka bahwa performa historikal menjamin keuntungan di masa depan sehingga membuat investor lalai dalam mengevaluasi investasinya.

Kenali Behavioral Finance yang Bisa Kacaukan Investasimu 2

Ilustrasi Mengambil Keputusan Investasi Berdasarkan Bias. Sumber: Envato

 

Perhatikan Hal Ini Agar Tidak Terjebak Bias!

Setelah membaca macam-macam bias, apakah Sobat Finansialku juga pernah melakukan hal tersebut?

Jika ya, apakah kamu menyadari adanya pengaruh bias tersebut pada keputusan investasimu? Kemungkinan besar tidak, ya

Sadar ataupun tidak disadari, yuk ikuti tips berikut supaya tidak mudah terjerumus lagi pada bias-bias tersebut.

 

Investasi Terencana

Hindari Melakukan Investasi Secara Spontan Dan Terburu-Buru

Paham sih, bagi beberapa orang strategi market timing menjadi kunci dalam kegiatan investasinya. Namun demikian, bahkan seorang professional trader sekalipun merencanakan strategi tersebut dengan matang-matang.

Jadi, apalagi Sobat Finansialku yang notabene berinvestasi ya, lebih lama jangka waktu investasinya, lebih banyak pula pertimbangannya.

Lebih lanjut lagi, menentukan kapan menjual produk investasi (exit strategy) termasuk batasan kerugian (stop loss) juga sebaiknya sudah ditetapkan di awal investasi.

Tujuannya agar Sobat Finansialku dapat berpikir rasional dan objektif serta tidak terpengaruh oleh bias-bias seperti loss aversion bias yang kemungkinan besar terjadi ketika Sobat Finansialku sudah memiliki produk investasi tersebut.

 

Sesuai Tujuan Keuangannya

Investasi yang terencana di sini maksudnya adalah direncanakan sesuai dengan tujuan keuangan Sobat Finansialku.

Dengan mengetahui target nominal tujuan keuangan dan investment horizon (waktu/periode investasi untuk mencapai tujuan keuangan), Sobat Finansialku dapat mengatur strategi investasimu. 

Nah, strategi investasi yang dimaksud adalah strategi dalam pemilihan instrumen investasi, diversifikasi, dan bobot alokasi aset pada masing-masing instrumen investasi. 

Bahkan, strategi investasimu juga masih dapat dijabarkan lagi menjadi strategi jangka pendek, menengah, dan panjang lho. Tentunya semua disesuaikan dengan tujuan-tujuan keuanganmu.

Kamu bisa simak video berikut ini untuk membuat strategi investasi.

 

Analisis dan Riset

Sobat Finansialku, dari penjelasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa cognitive bias juga dapat mengaburkan analisis dan hasil pemikiran kita. 

Oleh karena itu, dalam melakukan analisis pastikan informasi hasil riset diperoleh dari sumber yang terpercaya. Menerapkan critical thinking dalam memfilter informasi juga penting dan dapat mempengaruhi analisis Sobat Finansialku.

Selain informasinya, metode pendekatan dalam menganalisis juga penting lho. Pasalnya, melakukan beberapa pendekatan dalam menganalisis dan menilai suatu produk investasi sebelum membuat keputusan investasi juga dapat meminimalkan bias. 

 

Evaluasi Portofolio

Setelah Sobat Finansialku menyelesaikan “tugas” sebagai investor saat memulai investasi, yaitu analisis dan riset mengenai produk investasi kamu, PR kamu tidak selesai sampai di situ. 

Ingat representative bias, perusahaan/produk investasi yang mencatatkan kinerja yang baik tidak menjamin akan selalu menghasilkan kinerja yang baik juga terus menerus. Oleh karenanya, evaluasi portfolio adalah hal yang wajib dilakukan investor. 

Melalui evaluasi portofolio secara berkala, teman-teman dapat menilai kinerja portofolio apakah masih sesuai dengan target pencapaian tujuan keuangan.

Jika diperlukan, jangan takut untuk mempertimbangkan re-balancing portfolio, yaitu strategi mengatur kembali alokasi aset agar sesuai dengan tujuan keuangan.

Untuk memudahkan dalam melakukan evaluasi portofolio secara berkala di masa mendatang, Sobat Finansialku dapat membuat catatan pribadi yang berisikan dasar-dasar pengambilan keputusanmu saat memutuskan untuk berinvestasi pada suatu produk.

Biar lebih lengkap lagi, catat pula hasil evaluasimu di setiap periodenya.

 

Melalui tips-tips di atas semoga Sobat Finansialku dapat berinvestasi dengan lebih terencana dan rasional, serta terhindar dari bias.

Jika Sobat Finansialku memiliki keraguan mengenai keuangan atau investasi yang tepat untuk mencapai tujuan keuangan, Sobat Finansialku dapat berkonsultasi dengan para perencana keuangan bersertifikat (Certified Financial Planner, CFP) di aplikasi Finansialku.

Cara Konsultasi Keuangan dengan aplikasi Finansialku

Cara Konsultasi Keuangan dengan aplikasi Finansialku

 

Demikian pembahasan mengenai behavioral finance dan tips praktis untuk meminimalkan faktor psikologis dalam berinvestasi. Terima kasih dan semoga bermanfaat.

 

Sumber:

  • Corporatefinanceinstitute.com – https://bit.ly/38QhtF2, https://bit.ly/2X5nE5C
  • Finansialbisnis.com – https://bit.ly/2X7daTx
  • Investopedia.com – https://bit.ly/3yUmqr0
  • Papers.ssrn.com – https://bit.ly/2X2zqOc
  • Katadata.co.id – https://bit.ly/3BIQrMe