Target nett zero emission di Indonesia pada tahun 2060 nampaknya ditanggapi serius oleh emiten batubara PT Bukit Asam Tbk. (PTBA).

Sebagai langkah pertama, PTBA bersinergi dengan PT Krakatau Chandra Energi (KCE) untuk mengembangkan EBT. Lantas seberapa potensial pengembangan EBT dengan KCE terhadap kinerja PTBA ke depan?

 

Artikel ini dipersembahkan oleh

Logo Rivan Kurniawan

 

PTBA Bersinergi dengan KCE

PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) melalui entitas anak usaha PT Bukit Energi Investama, yang berfokus pada pengelolaan EBT solar yang sudah berdiri sejak 2015, telah mencapai kesepakatan kerja sama dengan PT Krakatau Chandra Energi (KCE), pada 16 Januari 2024.

Sedangkan KCE fokus pada supply listrik yang memanfaatkan pengembangan solar energy atau tenaga surya dengan kapasitas mencapai 102 KwP.

Sebagai penyuplai listrik, KCE menjadi penyedia listrik untuk Wilayah Usaha Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC). KCE juga merupakan salah satu anak usaha dari PT Chandra Asri Petrochemical (TPIA). Saat itu, TPIA mengakuisisi PT Krakatau Daya Listrik (KDL), yang kemudian berubah nama menjadi KCE.

Sampai dengan saat ini, KCE masih menjadi satu-satunya penyedia listrik di KIEC. Hal ini membuat posisi KCE memiliki potensi besar dalam pemanfaatan EBT.

Oleh sebab itu, yang menjadi fokus utama dari PTBA bersinergi dengan KCE adalah mengelola pemanfaatan EBT, dan juga bidang usaha jasa ketenagalistrikan lain-lainnya.

PTBA mengklaim optimis terhadap potensi bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT), di mana akan membuat biaya pembangunan jauh lebih efisien. Kemudian, melalui sinergi dengan KCE, PTBA telah merealisasikan diversifikasi pada bisnis EBT.

 

PTBA dengan Sejumlah Bisnis EBT

Berkenaan dengan realisasi PTBA bersinergi dengan KCE, sebenarnya PTBA juga sudah menggarap sejumlah bisnis EBT yang lebih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Di mana sebagian PLTS ada yang akan dikembangkan di wilayah bekas tambang milik PTBA sendiri, sebut saja beberapa di antaranya:

  1. Lahan tambang Ombilin di Sumatera Barat.
  1. Lahan tambang Tanjung Enim di Sumatera.
  1. Lahan tambang Bantuas di Kalimantan Timur.

 

Masing-masing lahan tersebut memiliki potensi PLTS sebesar 200 MWp. Sedangkan untuk PLTS yang dibangun oleh PTBA, antara lain:

  1. PLTS di Bandara Soekarno Hatta, yang bersinergi dengan PT Angkasa Pura II. PLTS ini terpasang di Gedung Airport Operation Control Center (AOCC) dengan kapasitas maksimal 241 kWp.
  1. PLTS di wilayah jalan-jalan tol, dalam hal ini PTBA bersinergi dengan Jasa Marga Group untuk mengembangkan PLTS sebesar 400 kWp di area Jalan Tol Bali-Mandara.

 

Tidak hanya itu, PTBA juga tengah menjajaki potensi EBT berbasis hidrogen. Tujuannya yaitu dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan perusahaan sendiri maupun untuk mendukung penguatan atas kebutuhan kemitraan.

Dalam hal ini, khususnya untuk rantai bisnis transportasi dan juga produksi perusahaan.

[Baca Juga: Multifinance, Sektor yang Belum Populer di Kalangan Ritel, Prospektif?]

 

Prospek Industri EBT – PLTS di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang beruntung karena mendapatkan lebih banyak sorotan energi surya bahkan di sepanjang tahun. Hal ini berbeda dengan beberapa negara empat musim yang tidak dapat mendapatkan sorotan matahari.

Situasi tersebut mendukung Indonesia untuk mengembangkan potensi EBT berbasiskan tenaga surya (solar).

Berikut ini data sumber EBT yang ada di Indonesia yang diperoleh dari LSEG Workspace:

Data potensi EBT yang ada di Indonesia

Data potensi EBT yang ada di Indonesia. Sumber: LSEG Workspace

 

Dari data di atas, terlihat masih sangat sedikit energi berbasis tenaga surya yang ada di Indonesia. Bahkan jika dilihat berdasarkan angka yang sudah disurvei oleh LSEG Workspace, hanya sekitar 5000 Gigawatt energi dari tenaga surya.

Angka tersebut sangat rendah dan ada di bawah dari beberapa jenis energi lain, seperti hydroelectric sekitar 10.000 Gigawatt yang memang saat ini sudah cukup banyak Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memanfaatkan energi ini. Kemudian disusul oleh bio resumbers, lalu geothermal (panas bumi).

[Baca Juga: Mengintip Peluang Investasi Saham EBT di Indonesia, Menguntungkan?]

 

Dari sejumlah sumber tenaga EBT, solar energy diprediksikan akan menjadi EBT yang banyak digunakan di Indonesia dalam waktu 10 tahun ke depan. Sedangkan dari sisi pertumbuhan EBT secara keseluruhan di Indonesia, terlihat seperti pada data di bawah.

Grafik Pertumbuhan EBT di Indonesia

Grafik Pertumbuhan EBT di Indonesia. Sumber: LSEG Workspace

 

Dari grafik tersebut, terlihat bahwa sejak tahun 2015, Indonesia mulai gencar untuk mengembangkan bisnis EBT. Bahkan, pertumbuhannya diprediksi akan mengalami pertumbuhan yang pesat, terhitung dari tahun 2021 hingga tahun 2049.

Tidak heran, jika kemudian potensi EBT secara keseluruhan mampu mendorong inisiatif banyak perusahaan berbasiskan fossil energy (batubara) mulai melakukan “switch over” ke EBT.

Sebagai contohnya, seperti yang sudah dilakukan oleh PTBA bersinergi dengan KCE dengan pengembangan EBT jadi target utamanya, khususnya solar energy.

Melihat potensi bisnis EBT di Indonesia, sebagai investor tentu hal ini menjadi peluang baru untuk dapatkan keuntungan, bukan? Nah, sebelum beli dan mengoleksi emiten di bisnis ini, yuk simak dulu video berikut.

 

 

Tantangan Bisnis

Di balik potensi tersebut, bisnis EBT bukan berarti mudah dijalankan lantaran tetap memiliki beberapa tantangan, seperti:

 

#1 Tingginya biaya instalasi EBT

Biaya untuk switch dari batubara ke EBT membutuhkan biaya yang tidak murah. Hal ini lantaran pembangunan, instalasi dan operasional EBT memang membutuhkan investasi capital yang sangat besar.

Hal ini yang menyebabkan banyak perusahaan berbasiskan energy fossil nampak sangat berhati-hati untuk masuk ke sektor EBT.

 

#2 Kurangnya infrastruktur yang mendukung EBT

Saat ini infrastruktur EBT yang telah dibangun rata-rata adalah infrastruktur untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang membutuhkan batubara untuk beroperasi.

Hal ini kembali ke poin 1, bahwa memang permasalahan biaya untuk pengembangan infrastruktur EBT relatif mahal. Sehingga situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri EBT.

 

#3 Ilmu pengetahuan dari SDM (manpower) yang tidak memadai

Sampai saat ini, bisa dikatakan bahwa SDM yang mumpuni terkait bidang bisnis EBT masih belum memadai. Membuat pengembangan EBT sangat tergantung dari adanya transfer knowledge dari negara-negara lain yang sudah mengembangkan EBT lebih dulu.

Tidak heran jika sampai saat ini banyak perusahaan berbasis EBT di Indonesia perlu melakukan joint operation dengan perusahaan dari luar negeri.

Contohnya:

Beberapa projek yang saat ini berjalan seperti Solar Panel Cirata yang diresmikan pada November 2023 lalu adalah hasil sinergi antara Indonesia dengan perusahaan energi – Masdar yang berasal dari UEA.

Untuk diketahui, Masdar adalah perusahaan energi yang dimiliki oleh tiga perusahaan energi besar di UEA: Tthe Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), Mubadala Investment Company, dan Abu Dhabi National Energy Company PJSC (TAQA).

Peresmian PLTS Terapung Cirata

Peresmian PLTS Terapung Cirata. Sumber: Kominfo Jatim

 

#4 Regulasi yang masih belum paten

Hingga saat ini masih belum ada regulasi yang dapat mendorong penerapan EBT. Padahal adanya regulasi dapat membuat implementasi EBT berjalan di tempat. Oleh karena itu, perlu regulasi yang dapat memberi kepastian mengenai EBT mampu mempercepat akselerasi transisi energi, dari fosil ke EBT.

[Baca Juga: Fenomena IPO Startup di Bidang PPOB Makin Marak!]

 

Review Kinerja PTBA Kuartal III-2023

Dari kacamata profitabilitas, pada kuartal III-2023 PTBA mencatatkan penurunan pendapatan sekitar -10,7% YoY menjadi Rp27,73 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp31,07 triliun di kuartal III-2022.

pendapatan

 

Jika kita breakdown pada catatan kaki, maka kita dapatkan bahwa kontribusi dari segmen batubara memang mengalami penurunan secara keseluruhan. Baik itu dari pihak berelasi maupun dari pihak ketiga. Sedangkan dari Pendapatan Aktivitas lainnya justru mencatatkan kenaikan kinerja.

Pendapatan Aktivitas

 

Singkat kata, langkah PTBA yang mulai menggunakan EBT sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah mencapai net zero emission. Tapi dengan potensi EBT yang memang masih sangat besar ke depan, sehingga bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melirik potensi yang ada.

 

Valuasi Saham PTBA

Dari sisi valuasi saham PTBA menawarkan valuasi dengan PBV di atas 1 yakni sebesar 1,58x. Sedangkan rata-rata saham batubara memiliki valuasi antara 1-2x seperti ITMG pada 1,15x, HRUM 1,22x dan BSSR 2,74x masih relatif tinggi. Dibandingkan dengan ADRO yang memiliki PBV sebesar 0,7x.

Dari sisi Dividend Payout Ratio (DPR) PTBA termasuk emiten yang selalu rajin membagi dividen dan tergolong tinggi. Tercatat pada 5 tahun terakhir PTBA selalu membagikan dividen, bahkan di saat pandemi. Sejak 2021 PTBA konsisten membagikan dividen dengan DPR di atas 100%.

eps

 

Itu tadi sekilas mengenai PTBA bersinergi dengan KCE untuk mengembangkan EBT. Nah, kira-kira teman-teman investor optimis terhadap langkah PTBA kali ini?

Sebelum menentukan langkah selanjutnya, ada baiknya untuk melakukan analisis lebih mendalam terhadap saham ini.

Untuk menghemat waktu dan tenaga dalam menganalisis, Anda bisa gunakan tools Cheat Sheet dari RK Team. Dengan tools ini Anda akan mendapatkan sekitar 20 data fundamental dan 15 rasio keuangan yang telah dirangkum.

Selain itu, data diolah dalam bentuk rasio sehingga Anda tidak perlu menghitung manual lagi. Tertarik? Yuk, klik banner untuk info lebih lanjut!

Affiliate Rivan Kurniawan November 2023

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai informasi emiten di atas? Apakah ada peluang? Yuk, tulis opini Anda di kolom komentar di bawah ini. Jangan lupa, share juga pada rekan-rekan investor lainnya. Terima kasih.

 

Editor: Ratna Sri H.

Sumber Gambar:

  • Cover – https://tinyurl.com/y4d7kf97